Friday, March 21, 2014

No Title (Part 4)

Kisah ini terjadi sekitar seminggu lalu. Menjelang tengah malam, sekitar pukul setengah dua belas malam ke atas. 

Sudah sekitar sejam lebih aku dan Rizal berada di kedai susu daerah Sengkaling ini. Rizal mengajakku nongkrong sebelum kepergianku meninggalkan Malang beberapa jam lagi.

Afrizal Maulana. Dia salah satu sobatku di Malang. Kami berkenalan sekitar 5 tahun lalu. Entah sejak kapan, kami saling memanggil dengan sebutan “partner”. Dengannya aku bisa bercerita apa saja. Bahkan menceritakan kegundahanku padanya malam itu.

“Sebenarnya di kepulangan kali ini, ada satu hal yang ngeganjel banget di hati aku. Aku nggak sempet bilang sayang sama seseorang”

Wednesday, March 12, 2014

No Title (Part 2)

Aku menulis ini di sebuah sore. Saat hujan. Saat aku menunggunya reda. Samar aroma petrichor favoritku melesat melewati indra pencium. Kendaraan lalu lalang juga bergemuruh tanda begitu cepatnya. Mungkin orang-orang itu takut basah. Takut hujan.

Tapi aku tidak. Aku malah suka hujan.
Dan pada suatu dini hari, hujan pernah menahan seseorang untukku.

Wednesday, June 12, 2013

Dear(y) - Tuan Dua Belas




Sebuah kata yang terlintas di pikiranku ketika melihat map di atas adalah jarak. Sebuah panjang dan lebar yang begitu luas. Serta waktu tempuh yang begitu memakan waktu. Aku sekarang berada di kota Malang. Dan aku ingin bercerita tentang seseorang yang berada di kota Bandung. Namanya adalah DEARY WAHYU NUGROHO.

Monday, June 3, 2013

Logika Dan Perasaan



Masih di Kota Malang. Aku duduk disalah satu sudut. Tepatnya sebuah bangku taman yang terbuat dari bahan porselen berwarna merah muda. Taman yang mengarah langsung ke bangunan dimana walikota Malang mengabdikan dirinya. Tegak lurus di depanku menjulang tinggi  tugu megah berwarna hitam. Dikelilingi oleh aliran danau kecil yang ditumbuhi oleh teratai berwarna ungu violet.

Aku diam. Mataku sembab sedikt bengkak. Aku berusaha untuk melupakan sebuah rekaman indah di tempat ini. Tapi nyatanya yang kulakukan adalah mengenang segala yang pernah kulakukan bersamanya. Berusaha mengembalikan memori. Berjibaku menghidupkan kenangan.  Walau aku tau yang kulakukan adalah ketidakmungkinan. Itu hanya masa lalu. Masa lalu penuh bahagia yang terus-menerus membuntutiku hampir disetiap sudut Kota Malang.

Dia memang jarang berkunjung ke salah satu kota wisata di bagian timur pulau Jawa ini. Bahkan tidak bisa di bilang rutin. Namun, kebersamaan kami yang tak terlalu banyak itulah seolah menjadi harta tak ternilai untukku. Terpatri dalam hati hingga membuat aku serba salah. Di satu sisi, aku ingin meninggalkan kota ini secepatnya. Menyelamatkan diriku yang semakin hari terasa rapuh. Bila teringat akan rasa cinta yang pernah ada darinya untukku di kota ini. Di sisi lain, aku tak mau pergi dari kota bunga yang memberikan rasa keberadaan atas sosoknya, dekat dengan ragaku. Aku tak mau tersiksa karena merindunya. Merindu dia yang kini menjadi bayangan.

Ku tutup wajah dengan kedua telapak tangan. Menyembunyikan raut kesedihan dalam isak lirih. 

Tuhan, bantu aku mengikhlaskannya. Bantu aku mengerti bahwa semua yang terjadi atas kehendak-Mu. Bantu aku sadar bahwa ini semua memang sudah pada batas akhir. Juga takdir.
“Ogi, kamu lihat perempuan itu. Sepertinya dia sedang dalam kepiluan yang dalam”

Sebuah suara mengusikku. Suara yang tidak begitu keras namun jelas sekali di telingaku. Namun, aku tak mampu memastikan apakah itu suara laki-laki atau perempuan.

Please deh Era, kamu jangan lebay. Dia mah cuma lagi emosi doang. Paling sejam lagi udah ketawa ngakak ”

Suara lain menyahut. Lagi-lagi aku tak mampu menangkap jelas apakah itu suara laki-laki atau perempuan. Aku hanya dapat mengambil kesimpulan bahwa yang berbicara bernama Ogi dan Era.

Aku membuka telapak tangan. Kulihat sekeliling, tak ada siapa-siapa. Taman sore ini begitu sepi. Mungkin karena hujan baru saja berhenti. Mengakibatkan orang-orang agak sedikit malas untuk bersantai di taman yang basah ini. 

Siapa yang berbicara? Aku bergumam dalam hati penasaran. Aku kembali memejamkan mata. Mencoba menahan sisa tetesan air mata agar tidak jatuh. Hingga suara itu terdengar lagi.

“Sepertinya dia sedang patah hati, Gi”  Era berbicara begitu lembut seakan mengerti yang kurasakan.

“Patah hati ya tinggal move on aja kali, Ra. Susah amat” Ogi menyahut dengan santai. Seolah apa yang aku alami adalah hal yang lumrah bagi setiap manusia.

Ku buka lagi mataku. Memutar pandangan. Mencari sosok siapa saja yang kira-kira berani menggunjingku tanpa permisi. Namun, kembali nihil. Tak ada siapapun disekeliling. Aku mulai merinding. Kupejamkan lagi mataku. Menekannya perlahan seolah memijit kedua bola mata menggunakan jari-jari. Lagi-lagi setiap aku terpejam, kembali kudengar sepasang suara asing itu. Bercakap-cakap. Membahas segala tentang aku. Hingga kuputuskan mendengarkan lebih lama. Tentunya dengan mata yang terpejam.

“Buat gadis ini move on itu gak mudah, Gi. Kita kan sama-sama tahu bagaimana kisah cintanya” Era menyangkal Ogi.

“Mudah aja sih asal ini cewek niat. Sayangnya ya dia emang gak punya kemauan itu” Jawab Ogi sedikit nyinyir.

“Tapi Gi, dia sayang sekali dengan kekasihnya. Dia baru pertama kali ini jatuh cinta. Dan baru kali ini pula dia benar-benar serius memperjuangkan orang yang dia cinta. Dan sekarang hubungannya berakhir. Harapannya pun ikut pupus” Era mendramatisir.

“Kecewa, sakit hati bahkan perpisahan itu kan udah konsekuensi sebuah hubungan. Kalau gak mau semua itu terjadi ya jangan berani memulai. Harusnya ini cewek sadar dong” Dramtisasi Era tak membuat Ogi goyah, dia malah makin meremehkanku.

“Kejadian sekarang ini tidak sesederhana itu Gi. Memang bukan yang pertama bagi perempuan ini menjalin sebuah hubungan. Tapi ini adalah pertama kalinya dia jatuh cinta. Pertama kalinya dia berkomitmen untuk bertahan. Pertama kalinya dia butuh lelaki yang bukan hanya sekedar kekasih tapi juga pendamping hidup selamanya” Era berusaha memberikan penjelasan secara detil.

“Hahahahahahahaha”

Aku mendengar Ogi tertawa terbahak-bahak mendengar penuturan Era yang terakhir itu. Entah apa yang lucu. Aku hanya merasa Era benar-benar tahu apa yang kualami. Entah siapa Era dan Ogi, kenapa mereka tahu segala tentang aku?

“Aku kasih tau kamu ya, Ra. Dalam sebuah hubungan itu ada dua orang yang membangunnya. Kalau cuma salah satunya aja gak akan bisa deh. Kamu sendiri juga tahu kan kalau kandasnya hubungan ini cewek gara-gara pacarnya mendua. Kalau udah gitu mah bisa disimpulin dengan kasat mata. Cowoknya si cewek ini emang gak cinta ama dia”

Aku tersentak setelah mencerna perkatan Ogi. Sangat frontal. Rasanya ada semacam pisau yang menghujam keras dijantungku. Terasa sakit bahkan kini menyesakkan nafas. Mataku kembali menghangat.

“Apakah benar si lelaki tak cinta pada gadis ini? Bukankah mereka sudah menjalin hubungan bertahun-tahun? Walaupun sempat putus tapi akhirnya mereka berdua bersama lagi. Aku yakin lelaki itu sangat mencintai gadis ini. Kalau tidak, tidak mungkin ia juga akan bertahan mengikat si gadis. Aku rasa si lelaki hanya khilaf.”  

Era membela mantan pacarku. Entah mengapa Era begitu. Era seperti mewakilkan suara hatiku.

“Kenapa sih Ra, kamu gak mau membuka mata.? Aku tahu kalau lelaki itu cinta dengan gadis ini tapi gak benar-benar. Kalau dia benar-benar cinta, dia akan mempertahankan hubungan sesulit apapun rintangannya. Dia tidak akan melepaskan satu-satunya gadis yang bisa memahami dan melengkapi segala kekurangan. Si lelaki sama sekali tak punya rasa takut kehilangan bahkan sampai berkhianat ”

Kali ini setiap kata yang Ogi lontarkan semacam suara yang keluar dari pikiranku. Apa yang pernah ada di otakku pun Ogi sepertinya faham. Ogi pun mewakilkannya.

“Tapi kan setiap manusia bisa salah, Gi. Bisa dalam batas lupa. Segala kesalahan pasti bisa dimaafkan dengan adanya cinta” Era membujuk sedikit memelas. 

“Ra, kamu lihat sendiri kan bagaimana mereka berpisah dulu. Si cewek udah tahu kalau si cowok berkhianat. Dan si cowoknya pun tidak menyangkal. Si cewek dengan segenap kerendahan hatinya. Bahkan sebelum si cowok meminta maaf,  si cewek sudah memberikan maaf terlebih dahulu. Menganggap tak pernah terjadi apa-apa. Tapi apa respon si cowok? Dia tidak menerima semua itu. Dia malah memilih bersama selingkuhannya yang notabene belum tentu lebih perhatian dan penyayang.  Memaksa si cewek pergi. Bahkan menyuruhnya menemukan yang lebih baik. Kurang bukti apalagi? Semua itu adalah isyarat bahwa si cowok gak benar-benar cinta sama si cewek”

Ogi mulai emosi. Emosi yang sederajat dengan suhu dikepalaku. Dipikiranku, persis. Aku semakin terenyuh. Dadaku semakin mengkerut rasanya. Sebuah penalaran yang cerdas dari Ogi. Sungguh cerdas. Dan semakin mengirimkan sinyal kepiluan dalam kalbuku.

“Aku tak bisa lagi menyangkalmu Gi. Ada benarnya apa yang kamu katakan. Aku hanya kasihan dengan gadis ini. Dia begitu cinta. Dia menitipkan mimpi masa depan pada hubungannya yang kini kandas. Dia goyah dan rapuh. Dia kalah oleh kenangan manis pahit yang telah terajut. Padahal setiap kenangan indah itulah yang memberi kekuatan untuk bisa melewati tahun-tahun bersama kekasihnya dulu. Namun kini, kekasihnya telah menggoreskan luka batin yang tak pernah dia prediksi akan terjadi. Dia tak pernah ingin perpisahan. Bahkan membayangkannya saja dia tak sanggup.”

Suara Era sedikit serak. Mungkin dia berkata sambil meredam gejolak dalam dirinya. Aku pun ikut bergejolak. Gejolak pilu.

“Cewek ini pada dasarnya memang lemah dan perasa, Ra. Dia gak bisa melihat orang lain kesulitan. Gak bisa liat orang lain sedih. Bahkan dia sanggup menyembunyikan lukanya hanya untuk melihat orang yang dia cintai bahagia. Dan semua ketegaran itu ada karena dia merasa tenang telah memilih seseorang yang menurutnya pantas mengisi hatinya. Memeluk raganya. Seseorang yang begitu rumit namun menjadi alasan kenapa dia harus sabar dan kuat menjalani hidup. Dan ketika seseorang itu pergi dia merasa seolah kehilangan separuh jiwanya.”

Ogi mulai menurunkan nada suaranya. Namun masih cablak juga benar-benar merepresentasikan aku. Hingga kemudian Era mengaminkan beberapa perkataan Ogi.

“Dan sekarang aku melihat gadis mungil yang berusaha bertahan hidup dengan separuh jiwanya. Dengan serpihan hatinya yang hancur. Kekecewaan yang dalam. Bersama rasa cinta yang telah disiapkan namun tak bisa lagi ia berikan untuk lelaki itu. Rasa cinta yang tumbuh namun dipaksakan untuk mati. Rasa cinta yang mendunia namun telah dilarang untuk dipersembahkan”

Aku terisak beberapa saat. Ku hapus air mata yang kembali mengalir di pelupuk. Ku buka mata. Agak terlihat kabur pandanganku. Langit masih berparas wajah sehabis hujan. Sore dengan sisa matahari redup pun perlahan-lahan mulai bergulir. Masih penasaran aku memejamkan mata lagi. Aku tahu mereka belum selesai membicarakan aku. Tak berapa lama Ogi pun bertutur.

“Yang cewek itu rasain bukan cinta Ra. Itu hanya obsesi dan ambisi. Si cewek selalu mendambakan kisah cintanya seperti fairy tale. Menciptakan skenario sesuai dengan yang dia bayangkan. Padahal hakikatnya cinta itu adalah misteri. Kita tidak dapat merancang alurnya seperti apa. Cinta adalah kejutan berhadiah. Jikalau itu memang cinta, ia pasti akan datang dengan tiba-tiba dan berakhir dengan kado yang paling manis ”

“Cinta pun tak akan kalah dengan aral dan godaan. Cinta juga mampu membaca ketulusan. Melebur ego. Memberi maaf. Menghapus air mata. Menyunggingkan senyum dan tawa.  Bahkan cinta mampu menginspirasi dengan kesejatiannya. Tak akan berakhir hanya di dunia tetapi juga dikehidupan selanjutnya”

Aku menunggu lanjutan dari percakapan itu lagi. Masih sambil terpejam. Namun hingga beberapa menit  setelah tadi Era berbicara yang ku dengar adalah kesunyian. Sepertinya suara-suara misterius itu sudah berakhir. Aku membuka mata perlahan. Agak silau ketika cahaya matahari sehabis hujan ternyata menembak retinaku. Sinar yang ini lebih terang. Padahal senja mulai menjelang.

Aku tak mampu menahan diri untuk tidak membelalakan sedikit pandangan. Keajaiban yang kutangkap sungguh sempurna dan menenangkan kalbu yang tadi rusuh. Pikiranpun sudah santai. Sebuah lukisan agung berwarna-warni terhampar di langit bagian lain. Ku tatap pelangi sehabis hujan. Seperti janji Tuhan bahwa setelah kesedihan pasti ada kebahagiaan. Aamiin.

Friday, May 24, 2013

Ada Kita di Bandung

Otakku sebenarnya sudah penuh.
Sebentar lagi akan membuncah.
Herannya masih saja ada celah yang menyembul.
Membawa diri memejamkan mata dalam atmosfer kota ini.
Kota dimana tak sedetikpun kamu lepas genggaman tangan ini.

Kamu,
Dengan celana pendek berbahan jeans warna biru.
Kaos lengan pendek hijau daun. Berpadu dengan rompi hitam.
Aku,
Dengan hotpants hitam. T-shirt biru violet panjang selutut.
Serta rompi hitam garis-garis.
Kita,
Dengan warna dan gaya berpakaian andalan kita.
Juga dengan senyum muda bahagia. Mengukir kenangan yang takkan terulang.

Kota di barat pulau Jawa ini kembali mengkamuflase ragamu.
Kita yang pernah mengotori kaki dengan debu Gedung Sate.
Kita yang pernah mencoba untuk terlihat gaul di Dago Plaza.

Atau sebuah rumah berlantai dua di Sarijadi.
Dimana kamu pernah meminang aku dengan pelukan.
Memberi aku sebuah mantra kecupan berakhir kehangatan.

Kamu ingat?
Karena aku masih dan selalu ingat.

Kita pernah salah naik angkot jurusan Cicaheum.
Waktu di Cihampelas Walk, kamu pernah merengek ingin makan di Hoka-Hoka Bento.
Kita duduk di sepasang bangku depan sebelah kanan.
Didepan toko yang menjual t-shirt band favorit kita, Paramore.

Entah kemana lagi aku harus berpindah.
Atau bagaimana lagi aku harus melupakanmu.
Sampai detik ini, telepatimu masih suka mengusikku.
Dia bilang, kamu masih sering sakit. Dan itu tidak menenangkanku.

Dalam sujud kuserahkan kamu pada Sang Maha Cinta.
Kuminta Dia mencintaimu. Ku ikhlaskan kamu pada-Nya.
Bukan karena aku tak mampu hanya memang sudah tak bisa.
Tidak bisa menyentuh kalbumu dengan kota-kota kita.

Karena mereka pun telah menyerah untuk mempersatukan.

Thursday, March 7, 2013

Bukan Untuk Kau, Bukan Untuk Kamu

Suatu hari salah seorang teman pernah bertanya pada saya. Sebut saja namanya Parjo. “De, kamu udah pernah pacaran berapa kali?”

“Sekali doang.” Aku menjawab dengan santai.

“Ah, enggak mungkin. Kamu pasti udah puluhan kali pacaran.” Parjo membantahku. Seolah menyanggah bahwa perempuan seperti saya adalah tipe perempuan yang sudah mematahkan hati berpuluh-puluh lelaki.

OK. Percakapan diatas adalah pemanasan saja. Saya sendiri memang berbohong pada Tarjo. Mungkin kalau saya menjawab aku sudah pernah pacaran hampir 51 kali disitu Parjo pasti tidak akan menyanggah. Dia pasti akan setuju kalau perempuan dengan tinggi 150 cm dan berat 39 kilo ini sudah membuat banyak lelaki menangis. Dan sejujurnya aku benci itu.

Saya mungkin butuh kalkulator untuk menghitung jumlah mantan pacar saya selama ini. Well, ini sombong. Kutuk saya. Kutuk jadi makin cantik. Hehehehe…

Sejak SMP kelas satu, saya sudah mulai mengenal apa itu yang dinamakan ketertarikan terhadap lawan jenis. Pacar pertama, kita panggil saja namanya Panjul. Dia kakak kelas yang merupakan asisten pelatih Marching Band, spesialis terompet terbaik di sekolah. Dan romansa monyet itu hanya bertahan 3 hari. Kami putus dan saya menangis sejak pulang sekolah hingga adzan subuh berkumandang.

Baik, lupakan yang tadi itu. Kita akan fokus terhadap sebuah paradigma sesat yang mengatakan bahwa semakin banyak mantan maka semakin terlihat hebat. Saya adalah orang yang paling TIDAK SETUJU dengan persepsi semacam itu.

Alright, jadi begini, saya pribadi punya persepsi sebaliknya. Semakin banyak mantan maka terlihat semakin bodohlah kita. Dan saya adalah salah satu orang bodoh itu.

Bagaimana tidak bodoh kalau sudah berpuluh-puluh kali saya menangis setiap hubungan saya berakhir? Ditambah badan saya selalu menyusut sepuluh kilo ketika patah hati. Konsumsi tissue menjadi membludak dan itu sangat merugikan dari sisi ekonomi. Atau bagi kaum lelaki, ketika pasca putusan, sabun yang mereka gunakan akan lebih cepat habis daripada biasanya. Stop! Pembahasan saya mulai ngawur. :3

Berkaca dari pengalaman pribadi, punya banyak mantan itu sangat tidak enak. Saya malah sempat mendapat image sebagai “piala bergilir”. Dan itu benar-benar memalukan. Saya pribadi sebenarnya jenuh bergonta ganti pacar. Belum lagi kalau ketemu laki-laki yang wataknya cuma pengen one night stand doang. Gampar ajalah orang macam itu.

Pernah suatu hari saya ketemu orang yang semacam itu. Kita sebut dia dengan Udin sajalah. Pada era pedekate semua manis dan indah. Terlihat sekali kalau dia lelaki baik. Suatu siang dia mengungkapkan perasaannya pada saya. Dia menembak saya dengan sebuket bunga mawar berwarna putih. How romantic! Malamnya dia mengajak saya jalan-jalan. Ternyata dia malah menghentikan mobilnya didepan sebuah hotel. Dia mengajak saya menginap disana. F*ck you! F*ck you very, very much!!! *Nyanyi lagu Lily Allen*

Saat itu juga saya keluar dari mobil, kabur, dia mengejar saya, menarik tangan saya, saya marah-marah kemudian saya dorong dia ke dalam got di pinggir jalan. Mampus, mampus deh. Dikira saya perempuan apaan, saya kan perempuan apapun, hih!!! Dan itu adalah sejarah terpendek saya pacaran, kurang dari 6 jam. Setelah itu saya putuskan dia.

Saya tidak mampu berbohong kalau saya memang punya banyak mantan. Fortunately, saya dan semua mantan kini telah bersahabat. Terkadang teman-teman saya heran, ke atau di manapun saya jalan-jalan hampir selalu bertemu dengan wujud mantan pacar saya yang berbeda-beda. Perlu diketahui juga, itu juga kalau mau tahu, kalau enggak mau tahu ya enggak usah baca, saya itu adalah tipe yang sulit sekali melupakan mantan. Terutama mantan yang punya hutang sama saya. 

Ada sebuah cerita sebagai contoh. Setelah putus 3 tahun, saya bertemu dengan salah satu mantan saya, sebuat saja namanya Otong. Otong emang makin ganteng setelah putus sama saya. Karena pangling akan kegantengannya, hampir saja saya terlupa untuk menagih hutang pulsa sepuluh ribu rupiah yang dulu dia sempat minta beliin. Sebelum dia bayar kita udah terlanjur putus. Otong pun membayar dengan wajah yang kusut persis seperti ganjelan beha zaman megalitikum. Gimana bentuknya, coba cari di google.
                               
Kali ini saya mencoba serius. Walaupun saya punya banyak mantan pacar bukan berarti saya adalah orang yang tak pernah tersakiti. Hampir 95 persen saya selalu merasa saya adalah penyebab rusaknya hubungan saya. Memang tidak baik terus menyalahkan diri sendiri tapi begitulah saya. :’)

Saya selalu iri dengan orang-orang yang di dunia hanya pernah pacaran sekali tetapi langsung menikah. Muda berdua, tua bersama. Dan cuma maut yang sanggup memisahkan.

Bayangkan kalau menjadi saya. Berapa kali saya kecewa? Berapa kali saya sakit hati? Berapa kali harapan saya pupus? Berapa kali saya dikhianati? Berapa kali saya harus mengucurkan air mata setiap hubungan saya berakhir?

Setiap saya menjalin hubungan saya selalu serius. Saya mungkin terlalu muluk dalam berharap. Beberapa orang berpikir pacaran adalah sarana untuk mencari kecocokan akan lawan jenis. Enggak cocok? Ya putus. Enggak muat? Coba tekan lebih kencang lagi. :3

Saya berpendapat lain, hati saya bilang pacaran itu adalah jembatan untuk melangkah ke jenjang pernikahan. Hanya tinggal berusaha dan bersepakat dengan waktu. Ya, itulah saya. Sesimpel itu. Sayangnya apa yang saya inginkan masih tidak sesuai dengan yang saya harapkan. Sejauh ini, sepertinya hanya kekecewaan dan sakit hati yang saya tumpuk. Dan semua itu hampir tumbuh menjadi sebuah dendam, terkadang juga benci.

Salah seorang teman perempuan bertanya pada saya, kenapa beberapa bulan ini saya suka ngetwit atau update status di facebook yang seolah-olah menyindir bahkan semacam menjelek-jelekkan mantan pacar saya. Saya seperti perempuan labil, tidak dewasa yang tak seharusnya mengungkit keburukan mantan pacar yang dulu pernah saya cintai, apalagi di sosial media.

Ah, terima kasih koreksinya teman. Tenang aja, saya tidak mungkin menjelek-jelekkan mantan saya. Soalnya kalau mau jadi pacar saya itu harus melewati 3 syarat, yaitu GANTENG, GANTENG dan GANTENG. Jadi mustahil saya menjelekkan mereka. :’)

Saya itu adalah perempuan yang terlalu cuek. I write what I feel. I express what I want. Ada yang suka atau tidak suka itu sudah menjadi resiko saya. Para pembenci dan penyanjung itu sudah bagian dari zona hidup.

Saya punya sebuah cerita lagi. Sewaktu SMP kelas 3 saya pernah pacaran dengan seseorang bernama Saiful (sepertinya ini nama sebenarnya). Saya memergoki Saiful jalan-jalan naik motor dan dipeluk dengan erat oleh seseorang perempuan. Ternyata Saiful menduakan saya dengan mantan kekasihnya. Melihat itu saya sakit hati juga dendam. Dia minta maaf tidak saya maafkan. Sampai kelas 3 SMA saya memutuskan untuk terus sendiri, enggak mau pacaran lagi. Saya jadi dendam sama lelaki.

Tidak jauh beda. Sekitar 4 tahun lalu saya juga di khianati. Tukiman, sebut saja begitu. Saya di khianati olehnya. Dia mendua dengan perempuan yang dijodohkan oleh orang tuanya. Kalau saya tidak memergoki, dia pasti akan menutupi perselingkuhan ini dengan apik. Dia minta maaf namun tidak saya maafkan. Saya jadi benci sama dia. Baru beberapa bulan ini, Tuhan mempertemukan kami lagi dalam blackberry messenger. Setelah hampir 4 tahun, saya baru merasa benar-benar tidak benci lagi. Sekarang kami bisa bersahabat.

Sebenarnya menjadi korban selingkuh tidak hanya sekali dua kali saya alami. Hampir tak terhitung berapa kali saya menjadi dendam dan benci hanya karena di khianati. Dan salah satu penyebabnya adalah karena saya tidak ekspresif. Saya merasa marah tapi tidak punya media untuk bersuara. Dan sekarang saya punya media sosial tempat saya mengurangi beban itu.

Saya hanya tidak ingin dendam atau kebencian yang tidak bisa saya salurkan menjadikan diri saya pribadi trauma. Semakin anda tidak ekspresif atas apa yang anda rasakan maka semakin stress lah anda. Dan itu merugikan sisi psikologis anda. Marahlah jika emosi sudah membludak. Menangislah jika sudah tak mampu menahan air mata. The best medicine for your heart is express what you hide inside. Let yourself cure it.

Bagaimana kalau mantan merasa tersindir? Merasa keburukan masa lalunya diungkit? Kadang saya merasa betapa geer-nya seseorang yang merasa terkode oleh sebuah status atau twit orang lain. Padahal kan belum tentu yang dimaksud adalah dirinya. Hahahaha~ Jawabannya simple sih, cukup CUEK aja. Berpikirnya sederhana saja. Kalau mantan merasa tidak melakukan apa yang kita ekspresikan, dia tidak harus marah, tidak harus mengajak perang balik dan tentunya dia juga akan sama cueknya dengan kita.

Let me tell you something, hater dan satirer itu adalah dua pribadi yang berbeda. Hater adalah orang yang mengolok-olok orang lain dengan tujuan menghancurkan. Sedangkan satirer yang diambil dari kata satire yang berarti menyindir dan beri akhiran “r” agar menunjukan pelaku. Kata satirer ini bikinan saya sendiri, sesuai grammar atau enggak itu suka-suka saya. Satirer adalah orang yang menyindir orang lain dengan tujuan positif untuk menjadikan lebih baik. Dan saya adalah satirer sejati.

Saya pribadi memilih menjadi satirer. That’s why, saya suka sekali mengingat kesalahan atau keburukan orang yang membuat hati saya sakit. Biar si orang itu mengerti bahwa yang dia lakukan itu salah dan menyakiti orang. Jangan sampai dia melakukannya pada orang lain. Namun, saya lebih menyampaikan segala sesuatunya itu secara general. Jadi tidak hanya satu orang yang (mungkin) akan geer karena merasa tersindir oleh apa yang saya sampaikan.

Seorang satirer juga tidak boleh menutup mata dengan sindiran orang lain. Tetapi jangan sampai kegeeran hingga mengakibatkan sebuah perang. Hahahaha~ itu berarti anda tidak cocok jadi satirer, silahkan ke kolom hater sana. :))

By the way, bicara soal mantan itu memang hal yang sensitif untuk saya. Tetapi yang pasti, setiap mantan punya kenangan tersendiri di hati saya. Bahkan ada mantan yang irreplaceable. Siapa itu? Mungkin suatu hari nanti akan saya ceritakan lebih lanjut. Tidak disini. Disebuah media yang lebih abadi. Terima kasih.

Sunday, March 3, 2013

Untuk Kau, Bukan Untuk Kamu

Dunia itu kotak. Panjangnya hanya tiga meter. Tersisih lebar dua meter. Berwarna biru langit cerah namun tanpa awan. Hanya bintang-bintang yang terkadang menyala dalam kegelapan setelah menyerap energi pada siangnya.


Disini aku jatuh cinta. Disinilah ponselku tak putus tersambung mulai pukul 10 malam hingga adzan subuh. Kau juga pernah terlelap di seprai biruku karena lelah. Bahkan kau sempat merobek stiker aktor korea favorit yang aku rekatkan di depan pintu. “Harusnya foto kita berdua yang kamu tempel” itu katamu.


Pernah suatu hari kau bertanya “kamu tidak bosan dikamar terus?”


Tidak sayang, aku tidak bosan. Bagaimana aku bisa bosan kalau dari sini aku bisa melihat kita tak terpisahkan dalam satu bingkai yang kuletakkan tepat diseberang tempat tidurku? Dimana setiap pagi aku disapa oleh senyum kita yang terkembang didalamnya. Juga pesan “I Love Us” yang tak mengenal waktu. Kita begitu tak bersekat di gambar itu.


“Kita akan terus begitu kan, sayang?” Itu pertanyaanku yang sampai hari ini tak pernah kau jawab.