Tuesday, January 15, 2013

Kisah Cinta di Jogjakarta


Alhamdulillah. Akhirnya saya berhasil mewujudkan salah satu mimpi saya yaitu berkunjung ke satu-satunya kota istimewa didunia. Bahkan lebih istimewa daripada cherrybelle. Kota itu adalah Jogjakarta. Kurang lebih satu minggu saya menghabiskan detik-detik hidup saya di kota tersebut.

Berbicara tentang Jogja entah kenapa saya punya passion yang berbeda ketika mengunjungi kota tersebut. Mungkin untuk sebagian orang yang bertandang kesana, Malioboro atau Pantai Parangtritis adalah objek wisata yang paling di buru. Namun untuk saya, satu-satunya tempat yang paling ingin saya kunjungi adalah House of Raminten (HOR).

Masih ingat postingan saya tentang sebuah game bernama ShowTime Indonesia (STI)? Kalau lupa bisa baca disini. Well, I met one of my favorite friends in STI. She was Aira a.k.a SmoochyPanda. Aira berbaik hati (bisa jadi juga khilaf) mau menjemput juga menampung saya menginap dirumahnya yang luar biasa besar dan mewah. Padahal kita baru pertama ketemu. Aira begitu saja percaya sama saya. Aira tidak tahu saja kalau saya klepto. Mungkin setelah saya pulang kemarin, dia baru sadar kalau keluarganya telah kehilangan beberapa kilogram beras karena saya makan.
Bukan. Ini bukan Duo Maia.


Jadi saya sangat-sangat berterima kasih kepada Aira ini. Aira merupakan bagian dari elemen yang membuat mimpi saya menjadi kenyataan. Tau nggak apa? Dia mengajak saya hangout ke HOR. Saya tidak tahu bagaimana menggambarkan kondisi HOR. In my honest opinion, HOR merupakan tempat yang sangat unik, etnik dan romantic. Suatu hari saya harus kembali lagi kesana bersama laki-laki yang saya cinta. :')
No Pict = Hoax. Nih fotonya nih. Huh!!!
Tapi sebenarnya bukan itu yang ingin saya tekankan dalam postingan kali ini. Saya ingin mengangkat sebuah kisah cinta. Sebuah kisah cinta yang saya tonton di Jogjakarta.

Hari itu Aira dan Nona (Adik perempuan Aira) mengajak saya menonton sebuah film Indonesia. Sejujurnya saya tidak terlalu suka dengan film-film garapan tanah air. Bukan meremehkan cuma terkadang membosankan. Film yang kami tonton adalah Habibie Ainun. Film yang diilhami dari sebuah buku itu pun di angkat ke layar lebar. Sebelumnya saya memang sempat agak penasaran dengan film tersebut. Soalnya saya pernah dikirimi sebuah chat BBM oleh Mama Indra Sari yang berisi puisi Pak Habibie untuk Bu Ainun. Dan saya tak dapat membendung air mata begitu selesai membacanya.


Aktor yang menjadi pemeran mantan presiden ketiga Indonesia adalah Reza Rahadian. Sumpah, akting Reza di film itu berkelas banget. Mirip banget sama Pak habibie. Piala Citra berhak jatuh ke Reza menurut saya. Sementara aktris yang menjadi Bu Ainun adalah Bunga Citra Lestari. Menurut pendapat saya, akting mbak BCL ini kurang memukau, tak ada greget serta kurang istimewa. Ide cerita lah yang membuat film yang diangkat dari kisah nyata ini menjadi sangat menakjubkan juga mengharukan.
  
Well, saya itu adalah orang yang paling gengsi mengeluarkan air mata apalagi kalau hanya menonton film. Namun, ketika menonton film ini saya benar-benar tak bisa membendung air mata. Segala emosi tumpah ruah dalam bening-bening kristal dipipi saya. Saya benar-benar berlinang.

Kisah Pak Habibie dan Bu Ainun membuat saya begitu iri. Kisah yang membuat saya terobsesi. Kisah yang meneteskan air mata tanpa henti setiap mengingatnya. Kisah cinta yang suci. Kisah cinta yang dipisahkan oleh mati.


Saya masih terinspirasi dengan kisah sejati dua orang insan ini. Hingga saya iseng-iseng blogwalking dan menemukan sebuah postingan yang kembali meneteskan air mata saya. Check this out.


Pada suatu hari, baru sekitar pukul 12.00 diperbolehkan masuk ke ICCU kamar Ainun. Saya dua jam terlambat, walaupun sejak pukul 09.30 sudah menunggu di kamar tunggu ICCU. Hal itu terjadi karena keadaan darurat akibat pelaksanaan operasi yang tidak direncanakan sebelumnya, maka semua pengunjung belum diperbolehkan masuk ke ICCU. Baru sekitar pukul 12.00 saya masuk. Ketika masuk, Ainun sedang menangis. 

Saya langsung bertanya: “Ainun mengapa nangis? Sakit?”

Ainun menggelengkan kepala. Lalu mata saya mengarah ke alat-alat elektronik dan segala peralatan yang dipasang di tubuh Ainun dengan sekitar 50 alat transfusi dan infusi sambil mengucapkan:

“Takut sama peralatan ini?” Ainun menggelengkan kepalanya lagi. “Saya mengerti sekarang. Kamu mengira telah terjadi sesuatu pada saya?”

Baru Ainun mengangguk kepalanya. Walaupun pada waktu itu Ainun dalam keadaannya sadar. Ainun hanya bisa mengangguk dan menggelengkan kepala karena di mulutnya dipasang alat pernafasan. Saya amat terharu karena dalam kaadaan saat dan dirawat secara intensif tersebut, Ainun masih saja memikirkan kesehatan saya.

  
Ya Allah... Ya Ampun, sedih banget yah. Tapi ada satu hal lagi yang tak kalah mengharukan. Sebuah puisi. Puisi yang dikirimkan oleh Mama Indra Sari untuk saya. Puisi Pak Habibie untuk almarhumah Bu Ainun.

Sebenarnya ini bukan tentang kematianmu, bukan itu.

Karena, aku tahu bahwa semua yang ada pasti menjadi tiada pada akhirnya, dan kematian adalah sesuatu yang pasti, dan kali ini adalah giliranmu untuk pergi, aku sangat tahu itu.

Tapi yang membuatku tersentak sedemikian hebat, adalah kenyataan bahwa kematian benar-benar dapat memutuskan kebahagiaan dalam diri seseorang, sekejap saja, lalu rasanya mampu membuatku menjadi nelangsa setengah mati, hatiku seperti tak di tempatnya, dan tubuhku serasa kosong melompong, hilang isi.

Kau tahu sayang, rasanya seperti angin yang tiba-tiba hilang berganti kemarau gersang. Pada airmata yang jatuh kali ini, aku selipkan salam perpisahan panjang, pada kesetiaan yang telah kau ukir, pada kenangan pahit manis selama kau ada. Aku bukan hendak megeluh, tapi rasanya terlalu sebentar kau disini.

Mereka mengira aku lah kekasih yang baik bagimu sayang, tanpa mereka sadari, bahwa kaulah yang menjadikan aku kekasih yang baik. Mana mungkin aku setia padahal memang kecenderunganku adalah mendua, tapi kau ajarkan aku kesetiaan, sehingga aku setia, kau ajarkan aku arti cinta, sehingga aku mampu mencintaimu seperti ini.

Selamat jalan, Kau dari-Nya, dan kembali pada-Nya, kau dulu tiada untukku, dan sekarang kembali tiada.

Selamat jalan sayang, cahaya mataku, penyejuk jiwaku,

Selamat jalan, calon bidadari surgaku ….


SUBHANALLAH. Nggak berhenti-berhenti nih air mata setiap bacanya. Hiks. T____T

Teruntuk Pak Habibie dan Bu Ainun Almarhumah,
Setelah orang tua saya, kalian kini menjadi satu lagi alasan yang membuat saya percaya bahwa cinta sejati itu masih ada dan saya harus berjuang untuk menggapai serta mempertahankannya. :')) 


with tears,
-Devanosa-

No comments:

Post a Comment