Thursday, March 7, 2013

Bukan Untuk Kau, Bukan Untuk Kamu

Suatu hari salah seorang teman pernah bertanya pada saya. Sebut saja namanya Parjo. “De, kamu udah pernah pacaran berapa kali?”

“Sekali doang.” Aku menjawab dengan santai.

“Ah, enggak mungkin. Kamu pasti udah puluhan kali pacaran.” Parjo membantahku. Seolah menyanggah bahwa perempuan seperti saya adalah tipe perempuan yang sudah mematahkan hati berpuluh-puluh lelaki.

OK. Percakapan diatas adalah pemanasan saja. Saya sendiri memang berbohong pada Tarjo. Mungkin kalau saya menjawab aku sudah pernah pacaran hampir 51 kali disitu Parjo pasti tidak akan menyanggah. Dia pasti akan setuju kalau perempuan dengan tinggi 150 cm dan berat 39 kilo ini sudah membuat banyak lelaki menangis. Dan sejujurnya aku benci itu.

Saya mungkin butuh kalkulator untuk menghitung jumlah mantan pacar saya selama ini. Well, ini sombong. Kutuk saya. Kutuk jadi makin cantik. Hehehehe…

Sejak SMP kelas satu, saya sudah mulai mengenal apa itu yang dinamakan ketertarikan terhadap lawan jenis. Pacar pertama, kita panggil saja namanya Panjul. Dia kakak kelas yang merupakan asisten pelatih Marching Band, spesialis terompet terbaik di sekolah. Dan romansa monyet itu hanya bertahan 3 hari. Kami putus dan saya menangis sejak pulang sekolah hingga adzan subuh berkumandang.

Baik, lupakan yang tadi itu. Kita akan fokus terhadap sebuah paradigma sesat yang mengatakan bahwa semakin banyak mantan maka semakin terlihat hebat. Saya adalah orang yang paling TIDAK SETUJU dengan persepsi semacam itu.

Alright, jadi begini, saya pribadi punya persepsi sebaliknya. Semakin banyak mantan maka terlihat semakin bodohlah kita. Dan saya adalah salah satu orang bodoh itu.

Bagaimana tidak bodoh kalau sudah berpuluh-puluh kali saya menangis setiap hubungan saya berakhir? Ditambah badan saya selalu menyusut sepuluh kilo ketika patah hati. Konsumsi tissue menjadi membludak dan itu sangat merugikan dari sisi ekonomi. Atau bagi kaum lelaki, ketika pasca putusan, sabun yang mereka gunakan akan lebih cepat habis daripada biasanya. Stop! Pembahasan saya mulai ngawur. :3

Berkaca dari pengalaman pribadi, punya banyak mantan itu sangat tidak enak. Saya malah sempat mendapat image sebagai “piala bergilir”. Dan itu benar-benar memalukan. Saya pribadi sebenarnya jenuh bergonta ganti pacar. Belum lagi kalau ketemu laki-laki yang wataknya cuma pengen one night stand doang. Gampar ajalah orang macam itu.

Pernah suatu hari saya ketemu orang yang semacam itu. Kita sebut dia dengan Udin sajalah. Pada era pedekate semua manis dan indah. Terlihat sekali kalau dia lelaki baik. Suatu siang dia mengungkapkan perasaannya pada saya. Dia menembak saya dengan sebuket bunga mawar berwarna putih. How romantic! Malamnya dia mengajak saya jalan-jalan. Ternyata dia malah menghentikan mobilnya didepan sebuah hotel. Dia mengajak saya menginap disana. F*ck you! F*ck you very, very much!!! *Nyanyi lagu Lily Allen*

Saat itu juga saya keluar dari mobil, kabur, dia mengejar saya, menarik tangan saya, saya marah-marah kemudian saya dorong dia ke dalam got di pinggir jalan. Mampus, mampus deh. Dikira saya perempuan apaan, saya kan perempuan apapun, hih!!! Dan itu adalah sejarah terpendek saya pacaran, kurang dari 6 jam. Setelah itu saya putuskan dia.

Saya tidak mampu berbohong kalau saya memang punya banyak mantan. Fortunately, saya dan semua mantan kini telah bersahabat. Terkadang teman-teman saya heran, ke atau di manapun saya jalan-jalan hampir selalu bertemu dengan wujud mantan pacar saya yang berbeda-beda. Perlu diketahui juga, itu juga kalau mau tahu, kalau enggak mau tahu ya enggak usah baca, saya itu adalah tipe yang sulit sekali melupakan mantan. Terutama mantan yang punya hutang sama saya. 

Ada sebuah cerita sebagai contoh. Setelah putus 3 tahun, saya bertemu dengan salah satu mantan saya, sebuat saja namanya Otong. Otong emang makin ganteng setelah putus sama saya. Karena pangling akan kegantengannya, hampir saja saya terlupa untuk menagih hutang pulsa sepuluh ribu rupiah yang dulu dia sempat minta beliin. Sebelum dia bayar kita udah terlanjur putus. Otong pun membayar dengan wajah yang kusut persis seperti ganjelan beha zaman megalitikum. Gimana bentuknya, coba cari di google.
                               
Kali ini saya mencoba serius. Walaupun saya punya banyak mantan pacar bukan berarti saya adalah orang yang tak pernah tersakiti. Hampir 95 persen saya selalu merasa saya adalah penyebab rusaknya hubungan saya. Memang tidak baik terus menyalahkan diri sendiri tapi begitulah saya. :’)

Saya selalu iri dengan orang-orang yang di dunia hanya pernah pacaran sekali tetapi langsung menikah. Muda berdua, tua bersama. Dan cuma maut yang sanggup memisahkan.

Bayangkan kalau menjadi saya. Berapa kali saya kecewa? Berapa kali saya sakit hati? Berapa kali harapan saya pupus? Berapa kali saya dikhianati? Berapa kali saya harus mengucurkan air mata setiap hubungan saya berakhir?

Setiap saya menjalin hubungan saya selalu serius. Saya mungkin terlalu muluk dalam berharap. Beberapa orang berpikir pacaran adalah sarana untuk mencari kecocokan akan lawan jenis. Enggak cocok? Ya putus. Enggak muat? Coba tekan lebih kencang lagi. :3

Saya berpendapat lain, hati saya bilang pacaran itu adalah jembatan untuk melangkah ke jenjang pernikahan. Hanya tinggal berusaha dan bersepakat dengan waktu. Ya, itulah saya. Sesimpel itu. Sayangnya apa yang saya inginkan masih tidak sesuai dengan yang saya harapkan. Sejauh ini, sepertinya hanya kekecewaan dan sakit hati yang saya tumpuk. Dan semua itu hampir tumbuh menjadi sebuah dendam, terkadang juga benci.

Salah seorang teman perempuan bertanya pada saya, kenapa beberapa bulan ini saya suka ngetwit atau update status di facebook yang seolah-olah menyindir bahkan semacam menjelek-jelekkan mantan pacar saya. Saya seperti perempuan labil, tidak dewasa yang tak seharusnya mengungkit keburukan mantan pacar yang dulu pernah saya cintai, apalagi di sosial media.

Ah, terima kasih koreksinya teman. Tenang aja, saya tidak mungkin menjelek-jelekkan mantan saya. Soalnya kalau mau jadi pacar saya itu harus melewati 3 syarat, yaitu GANTENG, GANTENG dan GANTENG. Jadi mustahil saya menjelekkan mereka. :’)

Saya itu adalah perempuan yang terlalu cuek. I write what I feel. I express what I want. Ada yang suka atau tidak suka itu sudah menjadi resiko saya. Para pembenci dan penyanjung itu sudah bagian dari zona hidup.

Saya punya sebuah cerita lagi. Sewaktu SMP kelas 3 saya pernah pacaran dengan seseorang bernama Saiful (sepertinya ini nama sebenarnya). Saya memergoki Saiful jalan-jalan naik motor dan dipeluk dengan erat oleh seseorang perempuan. Ternyata Saiful menduakan saya dengan mantan kekasihnya. Melihat itu saya sakit hati juga dendam. Dia minta maaf tidak saya maafkan. Sampai kelas 3 SMA saya memutuskan untuk terus sendiri, enggak mau pacaran lagi. Saya jadi dendam sama lelaki.

Tidak jauh beda. Sekitar 4 tahun lalu saya juga di khianati. Tukiman, sebut saja begitu. Saya di khianati olehnya. Dia mendua dengan perempuan yang dijodohkan oleh orang tuanya. Kalau saya tidak memergoki, dia pasti akan menutupi perselingkuhan ini dengan apik. Dia minta maaf namun tidak saya maafkan. Saya jadi benci sama dia. Baru beberapa bulan ini, Tuhan mempertemukan kami lagi dalam blackberry messenger. Setelah hampir 4 tahun, saya baru merasa benar-benar tidak benci lagi. Sekarang kami bisa bersahabat.

Sebenarnya menjadi korban selingkuh tidak hanya sekali dua kali saya alami. Hampir tak terhitung berapa kali saya menjadi dendam dan benci hanya karena di khianati. Dan salah satu penyebabnya adalah karena saya tidak ekspresif. Saya merasa marah tapi tidak punya media untuk bersuara. Dan sekarang saya punya media sosial tempat saya mengurangi beban itu.

Saya hanya tidak ingin dendam atau kebencian yang tidak bisa saya salurkan menjadikan diri saya pribadi trauma. Semakin anda tidak ekspresif atas apa yang anda rasakan maka semakin stress lah anda. Dan itu merugikan sisi psikologis anda. Marahlah jika emosi sudah membludak. Menangislah jika sudah tak mampu menahan air mata. The best medicine for your heart is express what you hide inside. Let yourself cure it.

Bagaimana kalau mantan merasa tersindir? Merasa keburukan masa lalunya diungkit? Kadang saya merasa betapa geer-nya seseorang yang merasa terkode oleh sebuah status atau twit orang lain. Padahal kan belum tentu yang dimaksud adalah dirinya. Hahahaha~ Jawabannya simple sih, cukup CUEK aja. Berpikirnya sederhana saja. Kalau mantan merasa tidak melakukan apa yang kita ekspresikan, dia tidak harus marah, tidak harus mengajak perang balik dan tentunya dia juga akan sama cueknya dengan kita.

Let me tell you something, hater dan satirer itu adalah dua pribadi yang berbeda. Hater adalah orang yang mengolok-olok orang lain dengan tujuan menghancurkan. Sedangkan satirer yang diambil dari kata satire yang berarti menyindir dan beri akhiran “r” agar menunjukan pelaku. Kata satirer ini bikinan saya sendiri, sesuai grammar atau enggak itu suka-suka saya. Satirer adalah orang yang menyindir orang lain dengan tujuan positif untuk menjadikan lebih baik. Dan saya adalah satirer sejati.

Saya pribadi memilih menjadi satirer. That’s why, saya suka sekali mengingat kesalahan atau keburukan orang yang membuat hati saya sakit. Biar si orang itu mengerti bahwa yang dia lakukan itu salah dan menyakiti orang. Jangan sampai dia melakukannya pada orang lain. Namun, saya lebih menyampaikan segala sesuatunya itu secara general. Jadi tidak hanya satu orang yang (mungkin) akan geer karena merasa tersindir oleh apa yang saya sampaikan.

Seorang satirer juga tidak boleh menutup mata dengan sindiran orang lain. Tetapi jangan sampai kegeeran hingga mengakibatkan sebuah perang. Hahahaha~ itu berarti anda tidak cocok jadi satirer, silahkan ke kolom hater sana. :))

By the way, bicara soal mantan itu memang hal yang sensitif untuk saya. Tetapi yang pasti, setiap mantan punya kenangan tersendiri di hati saya. Bahkan ada mantan yang irreplaceable. Siapa itu? Mungkin suatu hari nanti akan saya ceritakan lebih lanjut. Tidak disini. Disebuah media yang lebih abadi. Terima kasih.

No comments:

Post a Comment