Suatu
hari salah seorang teman pernah bertanya pada saya. Sebut saja namanya Parjo. “De,
kamu udah pernah pacaran berapa kali?”
“Sekali
doang.” Aku menjawab dengan santai.
“Ah,
enggak mungkin. Kamu pasti udah puluhan kali pacaran.” Parjo membantahku. Seolah
menyanggah bahwa perempuan seperti saya adalah tipe perempuan yang sudah
mematahkan hati berpuluh-puluh lelaki.
OK.
Percakapan diatas adalah pemanasan saja. Saya sendiri memang berbohong pada
Tarjo. Mungkin kalau saya menjawab aku
sudah pernah pacaran hampir 51 kali disitu Parjo pasti tidak akan menyanggah.
Dia pasti akan setuju kalau perempuan dengan tinggi 150 cm dan berat 39 kilo
ini sudah membuat banyak lelaki menangis. Dan sejujurnya aku benci itu.
Saya
mungkin butuh kalkulator untuk menghitung jumlah mantan pacar saya selama ini. Well, ini sombong. Kutuk saya. Kutuk jadi
makin cantik. Hehehehe…
Sejak
SMP kelas satu, saya sudah mulai mengenal apa itu yang dinamakan ketertarikan
terhadap lawan jenis. Pacar pertama, kita panggil saja namanya Panjul. Dia kakak
kelas yang merupakan asisten pelatih Marching Band, spesialis terompet terbaik
di sekolah. Dan romansa monyet itu hanya bertahan 3 hari. Kami putus dan saya menangis
sejak pulang sekolah hingga adzan subuh berkumandang.
Baik,
lupakan yang tadi itu. Kita akan fokus terhadap sebuah paradigma sesat yang
mengatakan bahwa semakin banyak mantan
maka semakin terlihat hebat. Saya adalah orang yang paling TIDAK SETUJU
dengan persepsi semacam itu.
Alright, jadi begini, saya pribadi punya persepsi sebaliknya. Semakin banyak mantan maka terlihat semakin
bodohlah kita. Dan saya adalah salah satu orang bodoh itu.
Bagaimana
tidak bodoh kalau sudah berpuluh-puluh kali saya menangis setiap hubungan saya
berakhir? Ditambah badan saya selalu menyusut sepuluh kilo ketika patah hati. Konsumsi
tissue menjadi membludak dan itu sangat merugikan dari sisi ekonomi. Atau bagi
kaum lelaki, ketika pasca putusan, sabun yang mereka gunakan akan lebih cepat
habis daripada biasanya. Stop! Pembahasan saya mulai ngawur. :3
Berkaca
dari pengalaman pribadi, punya banyak mantan itu sangat tidak enak. Saya malah
sempat mendapat image sebagai “piala
bergilir”. Dan itu benar-benar memalukan. Saya pribadi sebenarnya jenuh
bergonta ganti pacar. Belum lagi kalau ketemu laki-laki yang wataknya cuma
pengen one night stand doang. Gampar ajalah
orang macam itu.
Pernah
suatu hari saya ketemu orang yang semacam itu. Kita sebut dia dengan Udin
sajalah. Pada era pedekate semua manis dan indah. Terlihat sekali kalau dia
lelaki baik. Suatu siang dia mengungkapkan perasaannya pada saya. Dia menembak
saya dengan sebuket bunga mawar berwarna putih. How romantic! Malamnya dia mengajak saya jalan-jalan. Ternyata dia
malah menghentikan mobilnya didepan sebuah hotel. Dia mengajak saya menginap
disana. F*ck you! F*ck you very, very
much!!! *Nyanyi lagu Lily Allen*
Saat
itu juga saya keluar dari mobil, kabur, dia mengejar saya, menarik tangan saya,
saya marah-marah kemudian saya dorong dia ke dalam got di pinggir jalan. Mampus,
mampus deh. Dikira saya perempuan apaan, saya kan perempuan apapun, hih!!! Dan itu
adalah sejarah terpendek saya pacaran, kurang dari 6 jam. Setelah itu saya
putuskan dia.
Saya
tidak mampu berbohong kalau saya memang punya banyak mantan. Fortunately, saya dan semua mantan kini
telah bersahabat. Terkadang teman-teman saya heran, ke atau di manapun saya jalan-jalan
hampir selalu bertemu dengan wujud mantan pacar saya yang berbeda-beda. Perlu diketahui
juga, itu juga kalau mau tahu, kalau enggak mau tahu ya enggak usah baca, saya
itu adalah tipe yang sulit sekali melupakan mantan. Terutama mantan yang punya
hutang sama saya.
Ada
sebuah cerita sebagai contoh. Setelah putus 3 tahun, saya bertemu dengan salah
satu mantan saya, sebuat saja namanya Otong. Otong emang makin ganteng setelah
putus sama saya. Karena pangling akan kegantengannya, hampir saja saya terlupa
untuk menagih hutang pulsa sepuluh ribu rupiah yang dulu dia sempat minta
beliin. Sebelum dia bayar kita udah terlanjur putus. Otong pun membayar dengan
wajah yang kusut persis seperti ganjelan beha zaman megalitikum. Gimana bentuknya,
coba cari di google.
Kali
ini saya mencoba serius. Walaupun saya punya banyak mantan pacar bukan berarti
saya adalah orang yang tak pernah tersakiti. Hampir 95 persen saya selalu
merasa saya adalah penyebab rusaknya hubungan saya. Memang tidak baik terus
menyalahkan diri sendiri tapi begitulah saya. :’)
Saya
selalu iri dengan orang-orang yang di dunia hanya pernah pacaran sekali tetapi
langsung menikah. Muda berdua, tua bersama. Dan cuma maut yang sanggup
memisahkan.
Bayangkan
kalau menjadi saya. Berapa kali saya kecewa? Berapa kali saya sakit hati? Berapa
kali harapan saya pupus? Berapa kali saya dikhianati? Berapa kali saya harus
mengucurkan air mata setiap hubungan saya berakhir?
Setiap
saya menjalin hubungan saya selalu serius. Saya mungkin terlalu muluk dalam
berharap. Beberapa orang berpikir pacaran adalah sarana untuk mencari kecocokan
akan lawan jenis. Enggak cocok? Ya putus. Enggak muat? Coba tekan lebih kencang
lagi. :3
Saya
berpendapat lain, hati saya bilang pacaran itu adalah jembatan untuk melangkah
ke jenjang pernikahan. Hanya tinggal berusaha dan bersepakat dengan waktu. Ya,
itulah saya. Sesimpel itu. Sayangnya apa yang saya inginkan masih tidak sesuai
dengan yang saya harapkan. Sejauh ini, sepertinya hanya kekecewaan dan sakit
hati yang saya tumpuk. Dan semua itu hampir tumbuh menjadi sebuah dendam,
terkadang juga benci.
Salah
seorang teman perempuan bertanya pada saya, kenapa beberapa bulan ini saya suka
ngetwit atau update status di facebook yang seolah-olah menyindir bahkan
semacam menjelek-jelekkan mantan pacar saya. Saya seperti perempuan labil,
tidak dewasa yang tak seharusnya mengungkit keburukan mantan pacar yang dulu
pernah saya cintai, apalagi di sosial media.
Ah,
terima kasih koreksinya teman. Tenang aja, saya tidak mungkin menjelek-jelekkan
mantan saya. Soalnya kalau mau jadi pacar saya itu harus melewati 3 syarat,
yaitu GANTENG, GANTENG dan GANTENG. Jadi mustahil saya menjelekkan mereka. :’)
Saya
itu adalah perempuan yang terlalu cuek. I
write what I feel. I express what I want. Ada yang suka atau tidak suka itu
sudah menjadi resiko saya. Para pembenci dan penyanjung itu sudah bagian dari
zona hidup.
Saya
punya sebuah cerita lagi. Sewaktu SMP kelas 3 saya pernah pacaran dengan
seseorang bernama Saiful (sepertinya ini nama sebenarnya). Saya memergoki
Saiful jalan-jalan naik motor dan dipeluk dengan erat oleh seseorang perempuan.
Ternyata Saiful menduakan saya dengan mantan kekasihnya. Melihat itu saya sakit
hati juga dendam. Dia minta maaf tidak saya maafkan. Sampai kelas 3 SMA saya
memutuskan untuk terus sendiri, enggak mau pacaran lagi. Saya jadi dendam sama
lelaki.
Tidak
jauh beda. Sekitar 4 tahun lalu saya juga di khianati. Tukiman, sebut saja
begitu. Saya di khianati olehnya. Dia mendua dengan perempuan yang dijodohkan
oleh orang tuanya. Kalau saya tidak memergoki, dia pasti akan menutupi
perselingkuhan ini dengan apik. Dia minta maaf namun tidak saya maafkan. Saya jadi
benci sama dia. Baru beberapa bulan ini, Tuhan mempertemukan kami lagi dalam blackberry messenger. Setelah hampir 4
tahun, saya baru merasa benar-benar tidak benci lagi. Sekarang kami bisa bersahabat.
Sebenarnya
menjadi korban selingkuh tidak hanya sekali dua kali saya alami. Hampir tak
terhitung berapa kali saya menjadi dendam dan benci hanya karena di khianati. Dan
salah satu penyebabnya adalah karena saya tidak ekspresif. Saya merasa marah
tapi tidak punya media untuk bersuara. Dan sekarang saya punya media sosial
tempat saya mengurangi beban itu.
Saya
hanya tidak ingin dendam atau kebencian yang tidak bisa saya salurkan
menjadikan diri saya pribadi trauma. Semakin anda tidak ekspresif atas apa yang
anda rasakan maka semakin stress lah anda. Dan itu merugikan sisi psikologis
anda. Marahlah jika emosi sudah membludak. Menangislah jika sudah tak mampu
menahan air mata. The best medicine for
your heart is express what you hide inside. Let yourself cure it.
Bagaimana
kalau mantan merasa tersindir? Merasa keburukan masa lalunya diungkit? Kadang saya
merasa betapa geer-nya seseorang yang merasa terkode oleh sebuah status atau
twit orang lain. Padahal kan belum tentu yang dimaksud adalah dirinya. Hahahaha~
Jawabannya simple sih, cukup CUEK aja. Berpikirnya sederhana saja. Kalau
mantan merasa tidak melakukan apa yang kita ekspresikan, dia tidak harus marah,
tidak harus mengajak perang balik dan tentunya dia juga akan sama cueknya
dengan kita.
Let me tell you something, hater dan
satirer itu adalah dua pribadi yang
berbeda. Hater adalah orang yang
mengolok-olok orang lain dengan tujuan menghancurkan. Sedangkan satirer yang diambil dari kata satire yang berarti menyindir dan beri
akhiran “r” agar menunjukan pelaku. Kata satirer
ini bikinan saya sendiri, sesuai grammar
atau enggak itu suka-suka saya. Satirer adalah
orang yang menyindir orang lain dengan tujuan positif untuk menjadikan lebih
baik. Dan saya adalah satirer sejati.
Saya
pribadi memilih menjadi satirer. That’s
why, saya suka sekali mengingat kesalahan atau keburukan orang yang membuat
hati saya sakit. Biar si orang itu mengerti bahwa yang dia lakukan itu salah
dan menyakiti orang. Jangan sampai dia melakukannya pada orang lain. Namun,
saya lebih menyampaikan segala sesuatunya itu secara general. Jadi tidak hanya satu orang yang (mungkin) akan geer
karena merasa tersindir oleh apa yang saya sampaikan.
Seorang
satirer juga tidak boleh menutup mata
dengan sindiran orang lain. Tetapi jangan sampai kegeeran hingga mengakibatkan
sebuah perang. Hahahaha~ itu berarti anda tidak cocok jadi satirer, silahkan ke kolom hater
sana. :))
By the way, bicara soal mantan itu memang hal yang sensitif untuk
saya. Tetapi yang pasti, setiap mantan punya kenangan tersendiri di hati saya. Bahkan
ada mantan yang irreplaceable. Siapa itu?
Mungkin suatu hari nanti akan saya ceritakan lebih lanjut. Tidak disini. Disebuah
media yang lebih abadi. Terima kasih.
No comments:
Post a Comment