Wednesday, June 12, 2013

Dear(y) - Tuan Dua Belas




Sebuah kata yang terlintas di pikiranku ketika melihat map di atas adalah jarak. Sebuah panjang dan lebar yang begitu luas. Serta waktu tempuh yang begitu memakan waktu. Aku sekarang berada di kota Malang. Dan aku ingin bercerita tentang seseorang yang berada di kota Bandung. Namanya adalah DEARY WAHYU NUGROHO.

Monday, June 3, 2013

Logika Dan Perasaan



Masih di Kota Malang. Aku duduk disalah satu sudut. Tepatnya sebuah bangku taman yang terbuat dari bahan porselen berwarna merah muda. Taman yang mengarah langsung ke bangunan dimana walikota Malang mengabdikan dirinya. Tegak lurus di depanku menjulang tinggi  tugu megah berwarna hitam. Dikelilingi oleh aliran danau kecil yang ditumbuhi oleh teratai berwarna ungu violet.

Aku diam. Mataku sembab sedikt bengkak. Aku berusaha untuk melupakan sebuah rekaman indah di tempat ini. Tapi nyatanya yang kulakukan adalah mengenang segala yang pernah kulakukan bersamanya. Berusaha mengembalikan memori. Berjibaku menghidupkan kenangan.  Walau aku tau yang kulakukan adalah ketidakmungkinan. Itu hanya masa lalu. Masa lalu penuh bahagia yang terus-menerus membuntutiku hampir disetiap sudut Kota Malang.

Dia memang jarang berkunjung ke salah satu kota wisata di bagian timur pulau Jawa ini. Bahkan tidak bisa di bilang rutin. Namun, kebersamaan kami yang tak terlalu banyak itulah seolah menjadi harta tak ternilai untukku. Terpatri dalam hati hingga membuat aku serba salah. Di satu sisi, aku ingin meninggalkan kota ini secepatnya. Menyelamatkan diriku yang semakin hari terasa rapuh. Bila teringat akan rasa cinta yang pernah ada darinya untukku di kota ini. Di sisi lain, aku tak mau pergi dari kota bunga yang memberikan rasa keberadaan atas sosoknya, dekat dengan ragaku. Aku tak mau tersiksa karena merindunya. Merindu dia yang kini menjadi bayangan.

Ku tutup wajah dengan kedua telapak tangan. Menyembunyikan raut kesedihan dalam isak lirih. 

Tuhan, bantu aku mengikhlaskannya. Bantu aku mengerti bahwa semua yang terjadi atas kehendak-Mu. Bantu aku sadar bahwa ini semua memang sudah pada batas akhir. Juga takdir.
“Ogi, kamu lihat perempuan itu. Sepertinya dia sedang dalam kepiluan yang dalam”

Sebuah suara mengusikku. Suara yang tidak begitu keras namun jelas sekali di telingaku. Namun, aku tak mampu memastikan apakah itu suara laki-laki atau perempuan.

Please deh Era, kamu jangan lebay. Dia mah cuma lagi emosi doang. Paling sejam lagi udah ketawa ngakak ”

Suara lain menyahut. Lagi-lagi aku tak mampu menangkap jelas apakah itu suara laki-laki atau perempuan. Aku hanya dapat mengambil kesimpulan bahwa yang berbicara bernama Ogi dan Era.

Aku membuka telapak tangan. Kulihat sekeliling, tak ada siapa-siapa. Taman sore ini begitu sepi. Mungkin karena hujan baru saja berhenti. Mengakibatkan orang-orang agak sedikit malas untuk bersantai di taman yang basah ini. 

Siapa yang berbicara? Aku bergumam dalam hati penasaran. Aku kembali memejamkan mata. Mencoba menahan sisa tetesan air mata agar tidak jatuh. Hingga suara itu terdengar lagi.

“Sepertinya dia sedang patah hati, Gi”  Era berbicara begitu lembut seakan mengerti yang kurasakan.

“Patah hati ya tinggal move on aja kali, Ra. Susah amat” Ogi menyahut dengan santai. Seolah apa yang aku alami adalah hal yang lumrah bagi setiap manusia.

Ku buka lagi mataku. Memutar pandangan. Mencari sosok siapa saja yang kira-kira berani menggunjingku tanpa permisi. Namun, kembali nihil. Tak ada siapapun disekeliling. Aku mulai merinding. Kupejamkan lagi mataku. Menekannya perlahan seolah memijit kedua bola mata menggunakan jari-jari. Lagi-lagi setiap aku terpejam, kembali kudengar sepasang suara asing itu. Bercakap-cakap. Membahas segala tentang aku. Hingga kuputuskan mendengarkan lebih lama. Tentunya dengan mata yang terpejam.

“Buat gadis ini move on itu gak mudah, Gi. Kita kan sama-sama tahu bagaimana kisah cintanya” Era menyangkal Ogi.

“Mudah aja sih asal ini cewek niat. Sayangnya ya dia emang gak punya kemauan itu” Jawab Ogi sedikit nyinyir.

“Tapi Gi, dia sayang sekali dengan kekasihnya. Dia baru pertama kali ini jatuh cinta. Dan baru kali ini pula dia benar-benar serius memperjuangkan orang yang dia cinta. Dan sekarang hubungannya berakhir. Harapannya pun ikut pupus” Era mendramatisir.

“Kecewa, sakit hati bahkan perpisahan itu kan udah konsekuensi sebuah hubungan. Kalau gak mau semua itu terjadi ya jangan berani memulai. Harusnya ini cewek sadar dong” Dramtisasi Era tak membuat Ogi goyah, dia malah makin meremehkanku.

“Kejadian sekarang ini tidak sesederhana itu Gi. Memang bukan yang pertama bagi perempuan ini menjalin sebuah hubungan. Tapi ini adalah pertama kalinya dia jatuh cinta. Pertama kalinya dia berkomitmen untuk bertahan. Pertama kalinya dia butuh lelaki yang bukan hanya sekedar kekasih tapi juga pendamping hidup selamanya” Era berusaha memberikan penjelasan secara detil.

“Hahahahahahahaha”

Aku mendengar Ogi tertawa terbahak-bahak mendengar penuturan Era yang terakhir itu. Entah apa yang lucu. Aku hanya merasa Era benar-benar tahu apa yang kualami. Entah siapa Era dan Ogi, kenapa mereka tahu segala tentang aku?

“Aku kasih tau kamu ya, Ra. Dalam sebuah hubungan itu ada dua orang yang membangunnya. Kalau cuma salah satunya aja gak akan bisa deh. Kamu sendiri juga tahu kan kalau kandasnya hubungan ini cewek gara-gara pacarnya mendua. Kalau udah gitu mah bisa disimpulin dengan kasat mata. Cowoknya si cewek ini emang gak cinta ama dia”

Aku tersentak setelah mencerna perkatan Ogi. Sangat frontal. Rasanya ada semacam pisau yang menghujam keras dijantungku. Terasa sakit bahkan kini menyesakkan nafas. Mataku kembali menghangat.

“Apakah benar si lelaki tak cinta pada gadis ini? Bukankah mereka sudah menjalin hubungan bertahun-tahun? Walaupun sempat putus tapi akhirnya mereka berdua bersama lagi. Aku yakin lelaki itu sangat mencintai gadis ini. Kalau tidak, tidak mungkin ia juga akan bertahan mengikat si gadis. Aku rasa si lelaki hanya khilaf.”  

Era membela mantan pacarku. Entah mengapa Era begitu. Era seperti mewakilkan suara hatiku.

“Kenapa sih Ra, kamu gak mau membuka mata.? Aku tahu kalau lelaki itu cinta dengan gadis ini tapi gak benar-benar. Kalau dia benar-benar cinta, dia akan mempertahankan hubungan sesulit apapun rintangannya. Dia tidak akan melepaskan satu-satunya gadis yang bisa memahami dan melengkapi segala kekurangan. Si lelaki sama sekali tak punya rasa takut kehilangan bahkan sampai berkhianat ”

Kali ini setiap kata yang Ogi lontarkan semacam suara yang keluar dari pikiranku. Apa yang pernah ada di otakku pun Ogi sepertinya faham. Ogi pun mewakilkannya.

“Tapi kan setiap manusia bisa salah, Gi. Bisa dalam batas lupa. Segala kesalahan pasti bisa dimaafkan dengan adanya cinta” Era membujuk sedikit memelas. 

“Ra, kamu lihat sendiri kan bagaimana mereka berpisah dulu. Si cewek udah tahu kalau si cowok berkhianat. Dan si cowoknya pun tidak menyangkal. Si cewek dengan segenap kerendahan hatinya. Bahkan sebelum si cowok meminta maaf,  si cewek sudah memberikan maaf terlebih dahulu. Menganggap tak pernah terjadi apa-apa. Tapi apa respon si cowok? Dia tidak menerima semua itu. Dia malah memilih bersama selingkuhannya yang notabene belum tentu lebih perhatian dan penyayang.  Memaksa si cewek pergi. Bahkan menyuruhnya menemukan yang lebih baik. Kurang bukti apalagi? Semua itu adalah isyarat bahwa si cowok gak benar-benar cinta sama si cewek”

Ogi mulai emosi. Emosi yang sederajat dengan suhu dikepalaku. Dipikiranku, persis. Aku semakin terenyuh. Dadaku semakin mengkerut rasanya. Sebuah penalaran yang cerdas dari Ogi. Sungguh cerdas. Dan semakin mengirimkan sinyal kepiluan dalam kalbuku.

“Aku tak bisa lagi menyangkalmu Gi. Ada benarnya apa yang kamu katakan. Aku hanya kasihan dengan gadis ini. Dia begitu cinta. Dia menitipkan mimpi masa depan pada hubungannya yang kini kandas. Dia goyah dan rapuh. Dia kalah oleh kenangan manis pahit yang telah terajut. Padahal setiap kenangan indah itulah yang memberi kekuatan untuk bisa melewati tahun-tahun bersama kekasihnya dulu. Namun kini, kekasihnya telah menggoreskan luka batin yang tak pernah dia prediksi akan terjadi. Dia tak pernah ingin perpisahan. Bahkan membayangkannya saja dia tak sanggup.”

Suara Era sedikit serak. Mungkin dia berkata sambil meredam gejolak dalam dirinya. Aku pun ikut bergejolak. Gejolak pilu.

“Cewek ini pada dasarnya memang lemah dan perasa, Ra. Dia gak bisa melihat orang lain kesulitan. Gak bisa liat orang lain sedih. Bahkan dia sanggup menyembunyikan lukanya hanya untuk melihat orang yang dia cintai bahagia. Dan semua ketegaran itu ada karena dia merasa tenang telah memilih seseorang yang menurutnya pantas mengisi hatinya. Memeluk raganya. Seseorang yang begitu rumit namun menjadi alasan kenapa dia harus sabar dan kuat menjalani hidup. Dan ketika seseorang itu pergi dia merasa seolah kehilangan separuh jiwanya.”

Ogi mulai menurunkan nada suaranya. Namun masih cablak juga benar-benar merepresentasikan aku. Hingga kemudian Era mengaminkan beberapa perkataan Ogi.

“Dan sekarang aku melihat gadis mungil yang berusaha bertahan hidup dengan separuh jiwanya. Dengan serpihan hatinya yang hancur. Kekecewaan yang dalam. Bersama rasa cinta yang telah disiapkan namun tak bisa lagi ia berikan untuk lelaki itu. Rasa cinta yang tumbuh namun dipaksakan untuk mati. Rasa cinta yang mendunia namun telah dilarang untuk dipersembahkan”

Aku terisak beberapa saat. Ku hapus air mata yang kembali mengalir di pelupuk. Ku buka mata. Agak terlihat kabur pandanganku. Langit masih berparas wajah sehabis hujan. Sore dengan sisa matahari redup pun perlahan-lahan mulai bergulir. Masih penasaran aku memejamkan mata lagi. Aku tahu mereka belum selesai membicarakan aku. Tak berapa lama Ogi pun bertutur.

“Yang cewek itu rasain bukan cinta Ra. Itu hanya obsesi dan ambisi. Si cewek selalu mendambakan kisah cintanya seperti fairy tale. Menciptakan skenario sesuai dengan yang dia bayangkan. Padahal hakikatnya cinta itu adalah misteri. Kita tidak dapat merancang alurnya seperti apa. Cinta adalah kejutan berhadiah. Jikalau itu memang cinta, ia pasti akan datang dengan tiba-tiba dan berakhir dengan kado yang paling manis ”

“Cinta pun tak akan kalah dengan aral dan godaan. Cinta juga mampu membaca ketulusan. Melebur ego. Memberi maaf. Menghapus air mata. Menyunggingkan senyum dan tawa.  Bahkan cinta mampu menginspirasi dengan kesejatiannya. Tak akan berakhir hanya di dunia tetapi juga dikehidupan selanjutnya”

Aku menunggu lanjutan dari percakapan itu lagi. Masih sambil terpejam. Namun hingga beberapa menit  setelah tadi Era berbicara yang ku dengar adalah kesunyian. Sepertinya suara-suara misterius itu sudah berakhir. Aku membuka mata perlahan. Agak silau ketika cahaya matahari sehabis hujan ternyata menembak retinaku. Sinar yang ini lebih terang. Padahal senja mulai menjelang.

Aku tak mampu menahan diri untuk tidak membelalakan sedikit pandangan. Keajaiban yang kutangkap sungguh sempurna dan menenangkan kalbu yang tadi rusuh. Pikiranpun sudah santai. Sebuah lukisan agung berwarna-warni terhampar di langit bagian lain. Ku tatap pelangi sehabis hujan. Seperti janji Tuhan bahwa setelah kesedihan pasti ada kebahagiaan. Aamiin.