Masih di Kota Malang. Aku duduk
disalah satu sudut. Tepatnya sebuah bangku taman yang terbuat dari bahan
porselen berwarna merah muda. Taman yang mengarah langsung ke bangunan dimana
walikota Malang mengabdikan dirinya. Tegak lurus di depanku menjulang tinggi tugu megah berwarna hitam. Dikelilingi oleh
aliran danau kecil yang ditumbuhi oleh teratai berwarna ungu violet.
Aku diam. Mataku sembab sedikt
bengkak. Aku berusaha untuk melupakan sebuah rekaman indah di tempat ini. Tapi
nyatanya yang kulakukan adalah mengenang segala yang pernah kulakukan
bersamanya. Berusaha mengembalikan memori. Berjibaku menghidupkan kenangan. Walau aku tau yang kulakukan adalah ketidakmungkinan.
Itu hanya masa lalu. Masa lalu penuh bahagia yang terus-menerus membuntutiku
hampir disetiap sudut Kota Malang.
Dia memang jarang berkunjung ke
salah satu kota wisata di bagian timur pulau Jawa ini. Bahkan tidak bisa di
bilang rutin. Namun, kebersamaan kami yang tak terlalu banyak itulah seolah
menjadi harta tak ternilai untukku. Terpatri dalam hati hingga membuat aku
serba salah. Di satu sisi, aku ingin meninggalkan kota ini secepatnya.
Menyelamatkan diriku yang semakin hari terasa rapuh. Bila teringat akan rasa
cinta yang pernah ada darinya untukku di kota ini. Di sisi lain, aku tak mau
pergi dari kota bunga yang memberikan rasa keberadaan atas sosoknya, dekat
dengan ragaku. Aku tak mau tersiksa karena merindunya. Merindu dia yang kini
menjadi bayangan.
Ku tutup wajah dengan kedua
telapak tangan. Menyembunyikan raut kesedihan dalam isak lirih.
Tuhan,
bantu aku mengikhlaskannya. Bantu aku mengerti bahwa semua yang terjadi atas
kehendak-Mu. Bantu aku sadar bahwa ini semua memang sudah pada batas akhir.
Juga takdir.
“Ogi, kamu lihat perempuan itu.
Sepertinya dia sedang dalam kepiluan yang dalam”
Sebuah suara mengusikku. Suara
yang tidak begitu keras namun jelas sekali di telingaku. Namun, aku tak mampu
memastikan apakah itu suara laki-laki atau perempuan.
“Please deh Era, kamu jangan lebay. Dia mah cuma lagi emosi doang.
Paling sejam lagi udah ketawa ngakak ”
Suara lain menyahut. Lagi-lagi
aku tak mampu menangkap jelas apakah itu suara laki-laki atau perempuan. Aku
hanya dapat mengambil kesimpulan bahwa yang berbicara bernama Ogi dan Era.
Aku membuka telapak tangan.
Kulihat sekeliling, tak ada siapa-siapa. Taman sore ini begitu sepi. Mungkin
karena hujan baru saja berhenti. Mengakibatkan orang-orang agak sedikit malas
untuk bersantai di taman yang basah ini.
Siapa
yang berbicara? Aku
bergumam dalam hati penasaran. Aku kembali memejamkan mata. Mencoba menahan
sisa tetesan air mata agar tidak jatuh. Hingga suara itu terdengar lagi.
“Sepertinya dia sedang patah hati,
Gi” Era berbicara begitu lembut seakan
mengerti yang kurasakan.
“Patah hati ya tinggal move on aja kali, Ra. Susah amat” Ogi
menyahut dengan santai. Seolah apa yang aku alami adalah hal yang lumrah bagi
setiap manusia.
Ku buka lagi mataku. Memutar
pandangan. Mencari sosok siapa saja yang kira-kira berani menggunjingku tanpa
permisi. Namun, kembali nihil. Tak ada siapapun disekeliling. Aku mulai
merinding. Kupejamkan lagi mataku. Menekannya perlahan seolah memijit kedua
bola mata menggunakan jari-jari. Lagi-lagi setiap aku terpejam, kembali kudengar
sepasang suara asing itu. Bercakap-cakap. Membahas segala tentang aku. Hingga
kuputuskan mendengarkan lebih lama. Tentunya dengan mata yang terpejam.
“Buat gadis ini move on itu gak mudah, Gi. Kita kan sama-sama
tahu bagaimana kisah cintanya” Era menyangkal Ogi.
“Mudah aja sih asal ini cewek
niat. Sayangnya ya dia emang gak punya kemauan itu” Jawab Ogi sedikit nyinyir.
“Tapi Gi, dia sayang sekali
dengan kekasihnya. Dia baru pertama kali ini jatuh cinta. Dan baru kali ini
pula dia benar-benar serius memperjuangkan orang yang dia cinta. Dan sekarang
hubungannya berakhir. Harapannya pun ikut pupus” Era mendramatisir.
“Kecewa, sakit hati bahkan
perpisahan itu kan udah konsekuensi sebuah hubungan. Kalau gak mau semua itu
terjadi ya jangan berani memulai. Harusnya ini cewek sadar dong” Dramtisasi Era
tak membuat Ogi goyah, dia malah makin meremehkanku.
“Kejadian sekarang ini tidak
sesederhana itu Gi. Memang bukan yang pertama bagi perempuan ini menjalin
sebuah hubungan. Tapi ini adalah pertama kalinya dia jatuh cinta. Pertama
kalinya dia berkomitmen untuk bertahan. Pertama kalinya dia butuh lelaki yang
bukan hanya sekedar kekasih tapi juga pendamping hidup selamanya” Era berusaha
memberikan penjelasan secara detil.
“Hahahahahahahaha”
Aku mendengar Ogi tertawa
terbahak-bahak mendengar penuturan Era yang terakhir itu. Entah apa yang lucu.
Aku hanya merasa Era benar-benar tahu apa yang kualami. Entah siapa Era dan
Ogi, kenapa mereka tahu segala tentang aku?
“Aku kasih tau kamu ya, Ra. Dalam
sebuah hubungan itu ada dua orang yang membangunnya. Kalau cuma salah satunya
aja gak akan bisa deh. Kamu sendiri juga tahu kan kalau kandasnya hubungan ini
cewek gara-gara pacarnya mendua. Kalau udah gitu mah bisa disimpulin dengan
kasat mata. Cowoknya si cewek ini emang gak cinta ama dia”
Aku tersentak setelah mencerna
perkatan Ogi. Sangat frontal. Rasanya ada semacam pisau yang menghujam keras
dijantungku. Terasa sakit bahkan kini menyesakkan nafas. Mataku kembali
menghangat.
“Apakah benar si lelaki tak cinta
pada gadis ini? Bukankah mereka sudah menjalin hubungan bertahun-tahun? Walaupun
sempat putus tapi akhirnya mereka berdua bersama lagi. Aku yakin lelaki itu
sangat mencintai gadis ini. Kalau tidak, tidak mungkin ia juga akan bertahan
mengikat si gadis. Aku rasa si lelaki hanya khilaf.”
Era membela mantan pacarku. Entah
mengapa Era begitu. Era seperti mewakilkan suara hatiku.
“Kenapa sih Ra, kamu gak mau
membuka mata.? Aku tahu kalau lelaki itu cinta dengan gadis ini tapi gak
benar-benar. Kalau dia benar-benar cinta, dia akan mempertahankan hubungan
sesulit apapun rintangannya. Dia tidak akan melepaskan satu-satunya gadis yang
bisa memahami dan melengkapi segala kekurangan. Si lelaki sama sekali tak punya
rasa takut kehilangan bahkan sampai berkhianat ”
Kali ini setiap kata yang Ogi
lontarkan semacam suara yang keluar dari pikiranku. Apa yang pernah ada di
otakku pun Ogi sepertinya faham. Ogi pun mewakilkannya.
“Tapi kan setiap manusia bisa
salah, Gi. Bisa dalam batas lupa. Segala kesalahan pasti bisa dimaafkan dengan
adanya cinta” Era membujuk sedikit memelas.
“Ra, kamu lihat sendiri kan
bagaimana mereka berpisah dulu. Si cewek udah tahu kalau si cowok berkhianat.
Dan si cowoknya pun tidak menyangkal. Si cewek dengan segenap kerendahan
hatinya. Bahkan sebelum si cowok meminta maaf,
si cewek sudah memberikan maaf terlebih dahulu. Menganggap tak pernah
terjadi apa-apa. Tapi apa respon si cowok? Dia tidak menerima semua itu. Dia
malah memilih bersama selingkuhannya yang notabene belum tentu lebih perhatian
dan penyayang. Memaksa si cewek pergi.
Bahkan menyuruhnya menemukan yang lebih baik. Kurang bukti apalagi? Semua itu
adalah isyarat bahwa si cowok gak benar-benar cinta sama si cewek”
Ogi mulai emosi. Emosi yang
sederajat dengan suhu dikepalaku. Dipikiranku, persis. Aku semakin terenyuh.
Dadaku semakin mengkerut rasanya. Sebuah penalaran yang cerdas dari Ogi.
Sungguh cerdas. Dan semakin mengirimkan sinyal kepiluan dalam kalbuku.
“Aku tak bisa lagi menyangkalmu
Gi. Ada benarnya apa yang kamu katakan. Aku hanya kasihan dengan gadis ini. Dia
begitu cinta. Dia menitipkan mimpi masa depan pada hubungannya yang kini
kandas. Dia goyah dan rapuh. Dia kalah oleh kenangan manis pahit yang telah
terajut. Padahal setiap kenangan indah itulah yang memberi kekuatan untuk bisa
melewati tahun-tahun bersama kekasihnya dulu. Namun kini, kekasihnya telah
menggoreskan luka batin yang tak pernah dia prediksi akan terjadi. Dia tak
pernah ingin perpisahan. Bahkan membayangkannya saja dia tak sanggup.”
Suara Era sedikit serak. Mungkin
dia berkata sambil meredam gejolak dalam dirinya. Aku pun ikut bergejolak.
Gejolak pilu.
“Cewek ini pada dasarnya memang
lemah dan perasa, Ra. Dia gak bisa melihat orang lain kesulitan. Gak bisa liat
orang lain sedih. Bahkan dia sanggup menyembunyikan lukanya hanya untuk melihat
orang yang dia cintai bahagia. Dan semua ketegaran itu ada karena dia merasa
tenang telah memilih seseorang yang menurutnya pantas mengisi hatinya. Memeluk
raganya. Seseorang yang begitu rumit namun menjadi alasan kenapa dia harus sabar
dan kuat menjalani hidup. Dan ketika seseorang itu pergi dia merasa seolah
kehilangan separuh jiwanya.”
Ogi mulai menurunkan nada
suaranya. Namun masih cablak juga benar-benar merepresentasikan aku. Hingga
kemudian Era mengaminkan beberapa perkataan Ogi.
“Dan sekarang aku melihat gadis
mungil yang berusaha bertahan hidup dengan separuh jiwanya. Dengan serpihan
hatinya yang hancur. Kekecewaan yang dalam. Bersama rasa cinta yang telah disiapkan
namun tak bisa lagi ia berikan untuk lelaki itu. Rasa cinta yang tumbuh namun
dipaksakan untuk mati. Rasa cinta yang mendunia namun telah dilarang untuk
dipersembahkan”
Aku terisak beberapa saat. Ku
hapus air mata yang kembali mengalir di pelupuk. Ku buka mata. Agak terlihat
kabur pandanganku. Langit masih berparas wajah sehabis hujan. Sore dengan sisa
matahari redup pun perlahan-lahan mulai bergulir. Masih penasaran aku
memejamkan mata lagi. Aku tahu mereka belum selesai membicarakan aku. Tak
berapa lama Ogi pun bertutur.
“Yang cewek itu rasain bukan cinta
Ra. Itu hanya obsesi dan ambisi. Si cewek selalu mendambakan kisah cintanya
seperti fairy tale. Menciptakan
skenario sesuai dengan yang dia bayangkan. Padahal hakikatnya cinta itu adalah
misteri. Kita tidak dapat merancang alurnya seperti apa. Cinta adalah kejutan
berhadiah. Jikalau itu memang cinta, ia pasti akan datang dengan tiba-tiba dan
berakhir dengan kado yang paling manis ”
“Cinta pun tak akan kalah dengan aral
dan godaan. Cinta juga mampu membaca ketulusan. Melebur ego. Memberi maaf. Menghapus
air mata. Menyunggingkan senyum dan tawa. Bahkan cinta mampu menginspirasi dengan
kesejatiannya. Tak akan berakhir hanya di dunia tetapi juga dikehidupan
selanjutnya”
Aku menunggu lanjutan dari
percakapan itu lagi. Masih sambil terpejam. Namun hingga beberapa menit setelah tadi Era berbicara yang ku dengar
adalah kesunyian. Sepertinya suara-suara misterius itu sudah berakhir. Aku
membuka mata perlahan. Agak silau ketika cahaya matahari sehabis hujan ternyata
menembak retinaku. Sinar yang ini lebih terang. Padahal senja mulai menjelang.
Aku tak mampu menahan diri untuk
tidak membelalakan sedikit pandangan. Keajaiban yang kutangkap sungguh sempurna
dan menenangkan kalbu yang tadi rusuh. Pikiranpun sudah santai. Sebuah lukisan
agung berwarna-warni terhampar di langit bagian lain. Ku tatap pelangi sehabis
hujan. Seperti janji Tuhan bahwa setelah kesedihan pasti ada kebahagiaan.
Aamiin.
No comments:
Post a Comment