Kisah ini terjadi sekitar seminggu lalu. Menjelang tengah
malam, sekitar pukul setengah dua belas malam ke atas.
Sudah sekitar sejam lebih aku dan Rizal berada di kedai susu
daerah Sengkaling ini. Rizal mengajakku nongkrong
sebelum kepergianku meninggalkan Malang beberapa jam lagi.
Afrizal Maulana. Dia salah satu sobatku di Malang. Kami
berkenalan sekitar 5 tahun lalu. Entah sejak kapan, kami saling memanggil
dengan sebutan “partner”. Dengannya aku bisa bercerita apa saja. Bahkan
menceritakan kegundahanku padanya malam itu.
“Sebenarnya di kepulangan kali ini, ada satu hal yang
ngeganjel banget di hati aku. Aku nggak sempet bilang sayang sama seseorang”
“Sama dia ya?” Rizal sepertinya sudah mengerti siapa yang aku
maksud.
“Iya. Dari kapan tau, nggak pernah bisa ketemu dia. Padahal
aku sudah mencoba mencari waktu buat ketemu sama dia. Tapi kayaknya Tuhan emang
belum kasih ijin. Selalu ada aja halangan dengan berbagai alasannya”
“Kamu punya nomor handphonenya?” Rizal bertanya serius
padaku.
“Iya. Ada kok. Emang kenapa?” Aku mengernyitkan kening heran.
“Telpon dia sekarang. Kalau dia ada dirumahnya, kita samperin
sekarang”. Rizal terlihat begitu serius.
“Tapi rumahnya jauh partner, di Sawo Jajar” Aku sedikit
mengeluh.
“Nggak masalah. Aku anterin. Kamu punya waktu sekitar empat
jam untuk pamitan sama orang yang kamu sayang”.
Aku dan Rizal sedang menikmati susu hangat di trotoar yang telah di sulap
menjadi tempat duduk beralaskan tikar oleh sang pemilik kedai. Aku mengarahkan
pandangan ke pekatnya langit malam tanpa bintang. Beralih ke lampu-lampu jalan, ke pepohonan besar bak raksasa hitam kemudian memerhatikan beberapa kendaraan bermotor yang berlalu-lalang di hadapan
kami.
“Aku habis pulsa partner”.
Rizal pun memberikan ponselnya padaku. Memintaku menelpon
menggunakan ponselnya. Aku pun tak menolak. Dengan sedikit ragu aku menekan
beberapa nomor. Menunggu tersambung. Namun, hingga panggilan ketiga, telepon
diseberang tak pernah terjawab.
“Kayaknya orangnya udah tidur deh partner. Udah jam segini juga”
Aku pasrah.
“Iya. Mungkin hapenya juga di silent. Tapi mungkin juga dia
nggak mau ngangkat nomor asing”
“Bisa juga, Allah emang nggak kasih kesempatan buat kami
untuk ketemu”
“Kalo kamu bener-bener, kamu pasti perjuangin. Ayo, kita
beli pulsa”.
Kami pun meninggalkan kedai susu. Rizal mengantarkanku ke
Indomaret yang tak jauh kedai tersebut. Aku melangkah masuk. Ketika sampai
dikasir, aku pun kembali kecewa ketika petugas berkata bahwa bahwa sedang tidak
bisa melakukan penjualan pulsa. Aku keluar menemui Rizal seraya berkata,
“Kayaknya Allah emang nggak kasih kesempatan deh”.
“Jangan begitulah. Ayok kita ke depan kampus aja”. Rizal
masih keukeuh membantu.
Rizal pun memacu laju motornya mengarah ke kios yang biasa
menjual pulsa di depan Universitas Muhammadiyah Malang. Disana aku mengisi
pulsa. Selesai mengisi aku langsung menekan nama yang telah aku simpan nomornya
di phone book.
Aku menelpon sembari di bonceng Rizal dengan kecepatan motor
yang tak sampai 20 km/jam. Angin malam daerah Landungsari menusuk kakiku yang
hanya beralaskan sandal jepit.
Aku menelpon sekali, tidak di angkat. Kedua kalinya pun sama. Hingga aku pun berkeputusan apabila yang
ketiga kali masih tidak di jawab, maka aku akan memilih untuk pulang ke rumah.
Dan ternyata benar, telpon terakhirku tetap tak di jawab.
“Gimana partner?” Rizal melemparkan tanyanya.
“Nihil. Kita pulang aja lah”. Aku menyerah saat itu.
Rizal pun mengantarkanku pulang. Sesampai dirumah, aku pun
menangis sembari memeluk Rizal sebagai tanda perpisahan. Pagi ini aku akan
pulang. Meninggalkan Malang. Meninggalkan partnerku, Rizal. Meninggalkan
perasaan yang tak sempat ku ungkapkan pada lelaki yang dua bulan ini mengusik alam sadar juga dunia mimpiku.
Setelahnya, aku tak bisa tidur. Aku hanya menangis. Menangis
sebisa aku menangis. Menyesali waktu yang tak ku manfaatkan. Menyesali kesempatan yang ku sia-siakan.
Tepat jam empat pagi. Mobil yang akan membawaku ke bandara
Juanda di Surabaya pun datang menjemput. Malang masih gelap buta. Di
detik-detik terakhir aku berada di kota Malang, aku menuliskan sebuah ungkapan
lewat jejaring sosialku :
Sekitar pukul setengah lima pagi, aku menerima sebuah notifikasi dari twitter
berupa direct message. Ternyata yang mengirimkan pesan adalah dia. Aku hanya
tersenyum dalam kehampaan. Aku sudah berada di daerah Sidoarjo. Aku sudah jauh
darinya.
Sudahlah...
Tak ada waktu yang mempertemukan.
Tak ada kesempatan untuk mengungkapkan.
Tepat di depannya. Dengan menatap matanya.
Jarak dan ruang telah memisahkan kami.
Dan untuk kali ini rasa ini memilih untuk menang
Namun dalam diam.
(To be continued)
No comments:
Post a Comment