Friday, March 21, 2014

No Title (Part 4)

Kisah ini terjadi sekitar seminggu lalu. Menjelang tengah malam, sekitar pukul setengah dua belas malam ke atas. 

Sudah sekitar sejam lebih aku dan Rizal berada di kedai susu daerah Sengkaling ini. Rizal mengajakku nongkrong sebelum kepergianku meninggalkan Malang beberapa jam lagi.

Afrizal Maulana. Dia salah satu sobatku di Malang. Kami berkenalan sekitar 5 tahun lalu. Entah sejak kapan, kami saling memanggil dengan sebutan “partner”. Dengannya aku bisa bercerita apa saja. Bahkan menceritakan kegundahanku padanya malam itu.

“Sebenarnya di kepulangan kali ini, ada satu hal yang ngeganjel banget di hati aku. Aku nggak sempet bilang sayang sama seseorang”

“Sama dia ya?” Rizal sepertinya sudah mengerti siapa yang aku maksud.

“Iya. Dari kapan tau, nggak pernah bisa ketemu dia. Padahal aku sudah mencoba mencari waktu buat ketemu sama dia. Tapi kayaknya Tuhan emang belum kasih ijin. Selalu ada aja halangan dengan berbagai alasannya”

“Kamu punya nomor handphonenya?” Rizal bertanya serius padaku.

“Iya. Ada kok. Emang kenapa?” Aku mengernyitkan kening heran.

“Telpon dia sekarang. Kalau dia ada dirumahnya, kita samperin sekarang”. Rizal terlihat begitu serius.

“Tapi rumahnya jauh partner, di Sawo Jajar” Aku sedikit mengeluh.

“Nggak masalah. Aku anterin. Kamu punya waktu sekitar empat jam untuk pamitan sama orang yang kamu sayang”.

Aku dan Rizal sedang menikmati susu hangat di trotoar yang telah di sulap menjadi tempat duduk beralaskan tikar oleh sang pemilik kedai. Aku mengarahkan pandangan ke pekatnya langit malam tanpa bintang. Beralih ke lampu-lampu jalan, ke pepohonan besar bak raksasa hitam kemudian memerhatikan beberapa kendaraan bermotor yang berlalu-lalang di hadapan kami.

“Aku habis pulsa partner”.

Rizal pun memberikan ponselnya padaku. Memintaku menelpon menggunakan ponselnya. Aku pun tak menolak. Dengan sedikit ragu aku menekan beberapa nomor. Menunggu tersambung. Namun, hingga panggilan ketiga, telepon diseberang tak pernah terjawab.

“Kayaknya orangnya udah tidur deh partner. Udah jam segini juga” Aku pasrah.

“Iya. Mungkin hapenya juga di silent. Tapi mungkin juga dia nggak mau ngangkat nomor asing”

“Bisa juga, Allah emang nggak kasih kesempatan buat kami untuk ketemu”

“Kalo kamu bener-bener, kamu pasti perjuangin. Ayo, kita beli pulsa”.

Kami pun meninggalkan kedai susu. Rizal mengantarkanku ke Indomaret yang tak jauh kedai tersebut. Aku melangkah masuk. Ketika sampai dikasir, aku pun kembali kecewa ketika petugas berkata bahwa bahwa sedang tidak bisa melakukan penjualan pulsa. Aku keluar menemui Rizal seraya berkata,

“Kayaknya Allah emang nggak kasih kesempatan deh”.

“Jangan begitulah. Ayok kita ke depan kampus aja”. Rizal masih keukeuh membantu.

Rizal pun memacu laju motornya mengarah ke kios yang biasa menjual pulsa di depan Universitas Muhammadiyah Malang. Disana aku mengisi pulsa. Selesai mengisi aku langsung menekan nama yang telah aku simpan nomornya di phone book.

Aku menelpon sembari di bonceng Rizal dengan kecepatan motor yang tak sampai 20 km/jam. Angin malam daerah Landungsari menusuk kakiku yang hanya beralaskan sandal jepit.

Aku menelpon sekali, tidak di angkat. Kedua kalinya pun sama. Hingga aku pun berkeputusan apabila yang ketiga kali masih tidak di jawab, maka aku akan memilih untuk pulang ke rumah. Dan ternyata benar, telpon terakhirku tetap tak di jawab.
 
“Gimana partner?” Rizal melemparkan tanyanya.

“Nihil. Kita pulang aja lah”. Aku menyerah saat itu.

Rizal pun mengantarkanku pulang. Sesampai dirumah, aku pun menangis sembari memeluk Rizal sebagai tanda perpisahan. Pagi ini aku akan pulang. Meninggalkan Malang. Meninggalkan partnerku, Rizal. Meninggalkan perasaan yang tak sempat ku ungkapkan pada lelaki yang dua bulan ini mengusik alam sadar juga dunia mimpiku.

Setelahnya, aku tak bisa tidur. Aku hanya menangis. Menangis sebisa aku menangis. Menyesali waktu yang tak ku manfaatkan. Menyesali kesempatan yang ku sia-siakan.

Tepat jam empat pagi. Mobil yang akan membawaku ke bandara Juanda di Surabaya pun datang menjemput. Malang masih gelap buta. Di detik-detik terakhir aku berada di kota Malang, aku menuliskan sebuah ungkapan lewat jejaring sosialku :

 

Sekitar pukul setengah lima pagi, aku menerima sebuah notifikasi dari twitter berupa direct message. Ternyata yang mengirimkan pesan adalah dia. Aku hanya tersenyum dalam kehampaan. Aku sudah berada di daerah Sidoarjo. Aku sudah jauh darinya. 

Sudahlah...
Tak ada waktu yang mempertemukan.
Tak ada kesempatan untuk mengungkapkan.
Tepat di depannya. Dengan menatap matanya.
Jarak dan ruang telah memisahkan kami.
Dan untuk kali ini rasa ini memilih untuk menang
Namun dalam diam.

(To be continued)

No comments:

Post a Comment