Saturday, November 10, 2012

10-11-12 - FOREVER IS JUST THE BEGINNING




Sinar matahari sore itu memang agak malu-malu. Mungkin karena sebelumnya langit memilih menumpahkan air hujan. Menjadikan lukisan senja yang begitu sendu.

Aku sedang duduk bersama Putra. Putra adalah mantan kekasih yang sekarang sudah jadi sahabat buat aku. Ia menelponku, mengajak bertemu disuatu tempat yang dulu sering kami kunjungi. Sebuah tempat dimana dulu kami sering habiskan berdua hanya untuk melihat matahari tenggelam.

Aku duduk disebelah Putra. Aku melihat wajahnya berwarna jingga diterpa cahaya matahari sore. Lesung di kedua pipinya tersembul keluar saat senyumnya mendarat padaku. Entah kenapa saat itu yang terlintas dipikiranku adalah laki-laki disebelahku ini semakin manis saja.


Putra masih diam. Dia menarik nafas panjang seraya memejamkan matanya. Aku tidak berani memulai pembicaraan. Sesekali aku hanya melirik apa yang dilakukannya. Keheningan itu pun pecah saat dia memulai untuk bicara.

“Sorry kalo gue minta lo jauh-jauh buat datang ketempat ini. Tapi terima kasih udah mau datang. Gue seneng banget lo mau datang” ucapnya.


“Emang kenapa sih? Tumben-tumbennya lo ngajakin gue ketemuan disini.”


“Lo tau kan besok gue bakal merit?” Dia bertanya sembari tersenyum dan lagi-lagi lesung pipinya menyembul. Ah, manis sekali.


“Ya iyalah, masa gue lupa. Lo kenapa sih? Kan kemaren kita berdua yang hunting contoh undangan buat lo merit” Tanyaku penuh rasa penasaran.


“Iya juga sih, hahahaha…” Dia menjawab sambil tertawa. “Gue boleh nanya satu hal sama lo?”


“Nanya apaan emangnya?” keningku mulai berkerut.


“Lo sedih gak denger gue bakal merit besok?”


“Ha? Maksud lo nanya gitu apaan?” aku makin terheran-heran.


“Hahahahahahaha…” Lagi-lagi dia tertawa. “Ya gue nanya, lo sedih gak denger gue besok nikah?” Putra menegaskan pertanyaannya.


“Hmmm.. lo aneh deh. Gue senenglah. Akhirnya ada juga cewek yang mau jadi istrinya mantan pacar sekaligus sohib gue ini. Kalo pun gue harus sedih, sedih karena apa juga. Emang kenapa sih?” Aku berusaha jujur.


“Huh...!!” Putra menghela nafas. “Mungkin gue aja kali yah yang galau. Gue gak nyangka aja H-1 gue mau nikah. Gue masih aja digalauin sama perasaan gue.”


“Galau? Bisa – bisanya lo galau. Ingat, besok lo udah mau merit lho. Emangnya lo galau kenapa sih?”


Putra memalingkan wajahnya kearahku. Aku melihat separuh wajahnya berwarna jingga diterpa sinar matahari sore dan separuhnya lagi gelap karena membelakangi cahaya. Putra lagi-lagi tersenyum kemudian tertawa kecil. Beberapa detik kemudian dia menengadahkan kepalanya ke atas sambil memejamkan mata. Hening itupun kembali ada. Namun itu tak berlangsung lama ketika ia mulai mengeluarkan kata-kata dari mulutnya.


“Mungkin lo dengernya aneh ataupun tabu. Tapi gue cuma mau jujur. Kalo seandainya kita gak beda Tuhan, satu-satunya perempuan yang gue butuh untuk gue nikahin besok adalah lo”


Aku terdiam. Ada perasaan yang aku sendiri tak tahu itu apa menyelinap didalam pikiran. Juga hati. Belum sempat aku berpikir dan mengendalikan diri, Putra kembali melanjutkan perkataannya.


“Gue sadar gak seharusnya gue ngomong begini sama lo. Apalagi kalo sampai calon istri gue tahu. Ini bakal gak adil buat dia. Tapi gue merasa ada yang ngeganjel aja dihati gue. Mengingat dulu kita putus bukan karena kita berhenti untuk saling sayang tapi karena agama kita yang beda. Sampai saat ini gue masih bertanya apakah lo masih punya rasa buat gue seperti yang gue rasain sampai hari ini sama lo? Hmm… Tapi gue sadar, perasaan lo sama gue mungkin sudah hanya tinggal kenangan karena gue tahu siapa cowok yang lo benar-benar cinta sekarang.”


Aku menghela nafas. Sudah lebih dari 5 tahun kami berpisah dan dia masih menyimpan perasaan yang menurutku tak seharusnya lagi ada. Mengingat besok dia akan menikah.


“Gue gak perlu jawab pertanyaan lo kan? Lo sendiri udah bisa menerka jawabannya.”
Putra tertawa kecil. Sesekali dia menunduk ke bawah sambil tersenyum. Kemudian menengadahkan kepalanya memandang angkasa sembari mengerjapkan matanya. Beberapa detik kemudian dia balik memandangiku. Dengan jelas aku melihat matanya berkaca-kaca. Oh My God, dia seolah menahan air mata.

“Gue sebagai mantan lo merasa iri dengan cara lo sayang sama orang yang lo cinta sekarang. Karena gue tahu rasanya bagaimana dicintai oleh perempuan macam lo. Lo selalu sepenuh hati. Lo selalu penuh pengorbanan. Dan lo setia dan loyal. Cuma lelaki bodoh dan munafik yang menyianyiakan ketulusan lo.”


Aku tertegun. Otakku berpikir keras. Seperti itu kah diriku? Seperti itukah saat aku jatuh cinta? Apa benar aku orang yang loyal? Benarkah aku tulus? Tapi kenapa orang yang aku cinta malah mengkhianati aku? Aku bergumam tak tentu didalam hati.


“Sebelumnya gue minta maaf. Kita memang pernah punya masa lalu yang indah. Masa dimana gue belajar untuk menjadi orang yang ikhlas. Merelakan dan melepas rasa yang pernah ada untuk lo saat itu emang gak mudah. Tapi perlu gue akuin, rasa gue ke elo sekarang memang udah flat. Karena sejujurnya dihati gue sekarang memang sudah ada orang lain. Dan gue gak pernah menggunakan logika saat mencintainya. Segala yang gue lakuin buat dia seperti bisikan dari hati.”


“Tapi udah saatnya lo pakai logika. Kebaikan lo sama doi selama bertahun-tahun ini gak membukakan mata doi untuk gak berkhianat sama lo. Kalo gue jadi lo, gue gak akan segan buat musuhin doi sampai kapanpun. Memusuhi itu gak lebih jahat daripada doi selingkuhin lo.” Suara Putra mulai meninggi.


Aku tersenyum simpul. Aku mengawang seraya memandangi matahari yang sudah mulai bergeser kebarat. Sinarnya yang kekuningan berubah semakin jingga.


“Gue gak tau. Yang gue tau, gue cuma sayang sama dia. Mungkin di mata lo segala yang gue persembahin buat dia adalah benar. Karena gue ceritanya sama lo. Tapi lo gak tau kan versi dia? Lo gak tau kan pemikiran dia seperti apa? Bagaimana sebenarnya gue menurut pandangan dia? Alasan kenapa dia selingkuh. Alasan kenapa dia khianatin gue. Lo gak bisa menilai dari sisi gue aja.”


“Itulah kegoblokan lo kalo udah jatuh cinta. Lo terlalu baik. Lo terlalu naïf jadi orang. Lo selalu menyalahkan diri lo sendiri. Berusaha untuk terus sok pahlawan. Orang udah jelas-jelas selingkuh aja masih lo bela. Masih aja lo gak mau nyalahin doi. Sekurang-kurangnya diri lo sebagai manusia apalagi perempuan, tetep gak layak dibalas sama perselingkuhan!!!”


Nada Putra semakin naik. Matanya sedikit terbelalak seolah ikut dalam amarah. Dia berganti-ganti pandangan. Sekilas memandangiku yang terenyuh. Sekilas kemudian melemparkan pandangan ke surya yang telah sayup.


“Mungkin yang dia inginkan dari seorang perempuan gak ada di gue. Karena dia gak menemukan di gue itulah dia mencari pada perempuan lain. Dia mungkin butuh perempuan sempurna. Dan gue gak sesempurna yang dia harapin. Atau mungkin… simpelnya… dia memang sudah gak punya rasa buat gue. Dia… ehm… dia… dia… dia memang udah gak cinta lagi sama gue.”


Aku terbata-bata mengucapkan kalimat terakhir itu. Entah kenapa aku selalu runtuh ketika harus membayangkan bahkan menghadapi kenyataan bahwa orang yang aku cintai telah kehilangan rasa cintanya untukku. Rasa yang membuat aku merasa menjadi orang paling beruntung bisa mencintai dan dicintai. Namun kebahagiaan itu berubah suram ketika cinta yang aku puja sirna tak berbekas. Air mataku pun jatuh seketika.


Bahuku bergetar karena isakan. Aku sudah tak mampu membendung air mata yang tertahan. Segalanya tumpah ruah bersama cakrawala yang sudah mulai menghitam. Langit sudah mulai ingin bercumbu dengan sang malam.


Putra menyandarkanku dibahunya. Mengelus kepalaku lembut. Berusaha menenangkanku yang goyah. Aku merasa begitu malu berada dalam posisi selemah ini di depan mantan kekasihku. Tapi inilah aku dalam kondisi kerapuhan.


“Sudah jangan menangis. Sekarang gue ngerti betapa sulitnya menjadi sosok seperti lo. Semua orang menilai lo sosok yang ceria, suka tertawa, pecicilan, jago ngelawak, gak bisa diam. Tapi di balik semua keindahan itu ternyata hanya kamuflase atas luka hati dan rasa kecewa yang berusaha lo tutupin sekuat diri lo. Gue sedih liat lo semakin hari semakin kurus. Tapi lo adalah satu-satunya perempuan paling kuat dan paling survive yang pernah gue temuin. Gue bangga akan diri lo.”


Aku semakin terisak. Air mata ini sudah tak mampu lagi diredam. Dalam hati entah kenapa aku menjadi bergumam. Kenapa yang menenangkan aku sekarang mesti orang yang besok akan menikah? Kenapa dia yang harus mengerti? Kenapa bukan kamu, kamu disana yang aku cinta?
“Sebentar gue mau ambil gitar di mobil.”

Aku mengusap air mata yang tadi bercucuran. Sudah mulai terasa lega. Tangisan selalu mampu menenangkan hati yang gundah. Walaupun tak sepenuhnya mengobati kalbu yang telah patah. Namun setidaknya apa yang mengganjal dalam perasaan perlahan memudar.


Aku masih duduk sembari membalikan separuh badanku. Memandangi Putra yang telah berada di bagian belakang mobil. Dia membuka bagasi kemudian mengambil sesuatu berwarna coklat. Sebuah gitar akustik yang sudah sangat familiar di mata aku. Gitar yang aku hadiahkan saat dia berulang tahun ke 18. Gitar yang aku beri saat kami masih bersama dulu.


Putra menutup bagasi mobil. Berjalan kemudian duduk bersila kembali di sebelahku. Menaruh gitar diatas kedua paha dan meletakkan tangan kanannya di bagian stang gitar. Sementara tangan kirinya memegang pick di badan gitar. Yah, dia gitaris kidal yang handal.


Jreeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeng….


Dia mulai membunyikan gitar tersebut. Aku mendengarkan dia memainkan beberapa melodi. Jari-jarinya menari memetik senar. Aku melihat sebuah tulisan menggunakan spidol marker berwarna biru tepat dibawah lubang penghasil suara. Sebuah tulisan yang lagi-lagi masih familiar. Sebuah catatan yang dibuatnya setelah menerima hadiah gitar tersebut 5 tahun yang lalu.


FOREVER IS JUST THE BEGINNING.


“Suatu hari cinta sejati akan menunjukan kehebatannya. Gue yakin suatu hari perjuangan lo gak bakal sia-sia. Akan ada orang yang pantas menerima ketulusan lo. Lelaki yang dipilih dan dikirim oleh tangan Tuhan buat menjaga dan mencintai dalam kebahagiaan dan dengan ikatan yang lebih suci.”


“Aamiin. I hope so.” Jawabku lirih.


“Ayo nyanyi. Gue udah lama gak denger lo nyanyi dengan falset lo yang mengagumkan itu.” Ajak Putra.


“Ih, ngaco lo ah. Suara gue jelek kali. Udah lama juga gak nyanyi. Udah lama gak latihan. Pitch control gue parah, hehehe….” Tolakku sambil tertawa kecil.


“Udah, gak usah banyak cingcong. Nyanyi pokoknya. Gue besok nikah dan gue sekarang minta kado by request


“Hahaha… bisa aja lo ah. Emang nyanyi lagu apa?” tanyaku mulai meluluh.

“Celine Dion. Lagu biar lo gak sedih lagi. Lagu biar lo yakin dan punya alasan untuk tetap tersenyum. Salah satu lagu favorit lo. Favorit gue juga sih.”

Dia mulai memainkan beberapa melodi. Jari-jarinya sungguh lincah memetik nada yang memang sudah tak asing ditelingaku. Aku tersenyum. Menarik nafas. Mengambil nada. Mulai menyanyikan lirik. Menghantarkan kami berdua ke penghujung senja yang mulai bergelut bersama indahnya sang dewi malam.

I can read your mind
And I know your story
I see what you're going through, yeah
It's an uphill climb
And I'm feeling sorry
But I know it will come to you, yeah

Don't surrender
'cause you can win
In this thing called love

When you want it the most
There's no easy way out
When you're ready to go
And your heart's left in doubt
Don't give up on your faith
Love comes to those who believe it
And that's the way it is

When you question me
For a simple answer
I don't know what to say, no
But it's plain to see
If you stick together
You're gonna find the way, yeah

So don't surrender
'Cause you can win
In this thing called love

When you want it the most
There's no easy way out
When you're ready to go
And your heart's left in doubt
Don't give up on your faith
Love comes to those who believe it
And that's the way it is
That's the way it is

When life is empty
With no tomorrow
And loneliness starts to call
Baby don't worry
Forget your sorrow
'Cause love's gonna conquer it all... all

When you want it the most
There's no easy way out
When you're ready to go
And your heart's left in doubt
Don't give up on your faith
Love comes to those who believe it
And that's the way it is

When you want it the most
There's no easy way out
When you're ready to go
And your hearts left to doubt

Don't give up on your faith
Love comes to those who believe it
And that's the way it is
That's the way it is
That's the way it is
Don't give up on your faith
Love comes to those who believe it
And that's the way it is


Fin.

Nb:
PUTRA MENIKAH HARI INI TANGGAL 10 NOVEMBER 2012
I DEDICATED THIS STORY FOR YOU, PUTRA. 
SELAMAT MENIKAH! HAPPY EVER AFTER!

No comments:

Post a Comment