Sunday, November 18, 2012

Days Without Okran - Part 6 : Mom Worries About You

Entah sudah hari keberapa atau malah minggu keberapa gue pacaran jarak jauh sama Okran. Kota Malang dan Bekasi terpisah beribu – ribu mil. Dan rindu harus dibendung oleh jarak yang begitu sadis tersebut. Jarak ini memang sungguh keterlaluan bejatnya. Gak tahu apa kalo orang kangen gak bisa musnah hanya dengan sms atau telepon doang? Sungguh kejam kau jarak!!

Telepon gue berbunyi. Telepon dari Mama dikampung. Gue mengangkat dengan penuh suka cita.

Assalamu’alaikum Mama” salam gue.

Wa’alaikum salam. Lagi apa? Udah makan?”

Alhamdulillah udah. Lagi rebahan aja ini Ma. ”

“Oh syukurlah. Okran sudah telepon kamu belum? Gimana kabar dia hari ini? Udah dapat kerjaan?”

“Udah tadi Ma, habis magrib. Kata dia sih udah Mama. Kemaren malah udah mulai kerja. Makanya sekarang dia ambil kuliahnya malam.”

“Kuliah malam? Waduh, kasian yah anak itu. Paginya ntar kerja, malamnya kuliah. Kerja apa memang si Okran?” suara Mama agak heran di seberang.

“Kata dia sih kemaren sih jadi sales bahan bangunan gitu. Nawarin barang sama ngambil duit setoran dari pelanggan gitu deh”

“Waduh, capek itu pasti dia. Mama jadi kepikiran deh sama dia. Takut dia kenapa-kenapa di jalan karena kecapean.” Mama terlihat khawatir.

“Ya… aku juga gitu Ma. Cuma mau gimana lagi. Keadaan menuntut dia seperti itu.”

“Ya… gak papa sih. Mama suka aja sama orang yang mau kerja keras. Berarti dia sudah punya rasa tanggung jawab. Jarang loh ada laki-laki yang mau begitu di usia mudanya. Kamu harus bangga punya pacar macam dia.” Mama mulai ceramah.

“Iya Mama. Aku ngerti makanya tiap hari aku selalu support dia.”

“Ya udah, sip deh kalo gitu. Mama cuma mau nanya gitu aja”

“Wew… jadi Mama nelpon aku cuma buat nanyain Okran?”

“Ya kan sekalian aja. Habis gak tau kenapa Mama khawatir sama dia. Mama suka aja ama dia walaupun belum pernah ketemu dan cuma ngobrol sekali.”

“Mama telepon sendiri aja dong Okran nya kalo khawatir sama dia, nanti aku kasih nomor hapenya”

“Gak usah deh. Mama takut ganggu dia. Ya udah yah. Assalamu’alaikum.”

Wa’alaikum salam Mama”

Telepon seberang dimatikan. Gue hening beberapa saat setelah menerima telepon dari Mama. Gue berpikir heran. Semenjak gue pacaran sama Okran intensitas Mama menelpon gue semakin tinggi. Tidak lain dan tidak bukan yang ditanyain adalah Okran. Entah ada apa antara Mama dan Okran.

Gue jadi teringat salah satu stik yang sempat gue ambil beberapa hari yang lalu dari memorable jar gue.

Aku deg-deg’an banget. Sisi pertama.

Pertama kali ngobrol sama Mama kamu. Sisi kedua.

Malam itu Okran masih di Malang. Kita berdua lagi ngobrol-ngobrol santai di depan kosan gue. Tiba-tiba ponsel gue berbunyi. Telepon dari Mama dikampung.

Assalamu’alaikum Mama”

Wa’alaikum salam. Lagi apa kamu?”

“Nyante aja Mama. Lagi ngobrol aja”

“Ngobrol sama siapa? Kok kaya ada suara laki-laki?”

“Iyaa ini pacar aku eh temen aku Ma.” Jawab gue sambil tersenyum sama Okran.

“Teman apa pacar kamu nih?”

“Iya Mama sama pacar ini”

“Udah punya pacar baru aja nih. Siapa lagi? Orang mana? Jawa lagi?” Tanya Mama ketus.

“Mama ngobrol sendiri aja nih sama orangnya”

Gue memberikan telepon ke Okran. Okran menerima dengan sedikit terkejut. Gue mendengar suaranya agak terbata-bata. Dia memperkenalkan dirinya kepada Mama. Sesekali dia hening seolah serius menanggapi pembicaraan Mama di seberang. Sesekali dia menjawab “iya tante”. Kemudian entah apa yang mereka bicarakan, gue gak mampu untuk mendengar. Gue memberi kode tangan ke Okran untuk masuk ke dalam sebentar. Gue ingin buang air. Okran mengangguk tanda mengerti. Gue tinggalkan Okran bersama Mama yang entah terlibat pembicaraan seperti apa ditelepon.

Sekitar 10 menit berlalu. Gue keluar dan melihat Okran telah selesai dengan percakapannya bersama Mama. Melihat raut wajahnya saat itu gue seolah membaca ada sesuatu yang sedang dia pikirkan. Sesuatu, entah apa itu.

“Kata Mama, kamu punya asma yah?” Okran melemparkan sebuah pertanyaan ke gue dengan tatapan mata kosong ke depan. Sama sekali tidak memandang gue. Gue tertunduk. Tak ada alasan untuk mengelak. Tak ada alasan untuk berkata “Gak kok, aku gak sakit apa-apa”. Okran pasti sudah tau semuanya dari Mama.

“Mama kamu minta aku untuk selalu ingetin kamu makan karena kamu orangnya susah makan. Mama kamu minta aku buat kasih tau kamu untuk terus jaga kesehatan. Jangan sampai asma kamu kambuh. Mama kamu minta aku jagain kamu” Pembicaraan itu terhenti. Okran terlihat berpikir keras.

Gue lagi-lagi cuma bisa diam. Gue seolah tak mampu merangkai kata apa yang pas untuk mengklarifikasi semuanya. Gue mengalihkan pandangan ke Okran. Okran lagi-lagi masih bertatapan kosong. Gue menerka isi pikirannya sambil bergumam dalam hati. Mungkin Okran merasa sedih. Bagaimana dia bisa menjaga aku sementara untuk berada disisi aku setiap hari saja itu tidak mungkin. Kami akan terpisah jarak. Jarak yang luar biasa jauhnya.

“Jangan takut. Aku bakal baik-baik aja. Aku bisa handle fisik aku. Lagipula aku gak akan pernah sengaja membuat diri aku sakit. Percaya deh sama aku" Aku mencoba meyakinkan Okran.

Okran masih diam. Sesaat kemudian dia meraih tangan gue. Menggenggam erat. Mengunci sela-sela jari gue diantara sela-sela jarinya. Bahasa tubuh tanpa kata yang dilakukan Okran pada gue membuat gue paham bahwa dia percaya sama gue. Okran (mungkin) yakin bahwa dia tidak akan meninggalkan perempuan yang lemah.

Okran semakin erat menggenggam tangan gue. Membuat gue merasa terlindungi. Sekarang gue mengerti kenapa Tuhan menciptakan ruang batas antara satu jari dengan jari lainnya. Karena suatu hari akan ada rongga lain yang melengkapinya. Menjadikannya satu dan memberikan ketenangan. Menumbuhkan keyakinan dan rasa aman. Juga tak terpisahkan.

Pelan-pelan malam berjalan. Gue kembali teringat Mama di kampung. Teringat Okran juga tentunya. Dua orang yang gue sayang. Dan dua orang yang gue sayang itu pula jauh dari gue. Ah, rindu itu semakin menusuk. Sebuah pikiran tiba-tiba menyeruak di otak gue. Ada apa dengan Mama? Kenapa Mama begitu perhatian sama Okran? Kenapa Mama begitu khawatir sama Okran? Lebih khawatir sama Okran daripada gue? Padahal kan yang anaknya itu gue bukan Okran.

Mama tidak pernah seperti itu sebelumnya. Sangat sulit untuk membuat Mama care akan siapa yang sedang menjalin hubungan dengan gue. Mendengar kata “pacar” saja Mama biasanya udah sewot. Beberapa mantan pacar gue sebelumnya yang mencoba “pedekate” dengan Mama hanya mendapatkan nol besar. Mama masih bersikukuh dengan kecuekannya. Tapi kenapa dengan Okran, Mama berbeda?

Okran seolah mendapat lampu hijau dari Mama. Sampai-sampai Mama menitipkan pesan ke Okran untuk menjaga gue. Apa yang membuat Mama bersikap begitu percaya pada Okran? Padahal Mama sekalipun belum pernah bertemu dengan Okran. My mom never did it before. It’s such a miracle. Dan Okran adalah satu-satunya lelaki beruntung yang mendapatkan keajaiban itu.

Ada lega didalam benak gue. Perasaan dimana gue seolah mendapat restu pacaran dari Mama. Masih jelas diingatan gue, Mama dalam salah satu teleponnya pernah berkata bahwa justru dengan pacaran jarak jauh itulah cinta kalian di uji kesungguhannya. Kalo suatu hari nanti kamu mesti menikah, Mama akan sangat setuju sekali kalo kamu sama Okran.

Okran, kamu pelet yah Mama aku? Ngomong apa sih kamu sama Mama? Kamu kok bisa sih bikin Mama aku jatuh hati gitu? Kamu tau gak sih kalo Mama aku ternyata udah punya pandangan masa depan tentang kita? Gue beragumen sendiri didalam hati.

Yank, aku udah kelar kuliah. Udah sampai rumah juga. Aku langsung bobo ya yank. Capek banget. Besok mesti bangun pagi dan kerja lagi. Kamu juga langsung bobo yah jangan begadang lagi. Met malem ayank. I love us.

Sebuah sms berisi kalimat-kalimat tersebut menyadarkan gue dari keasikan berangan-angan tadi. Okran rupanya sudah selesai beraktivitas. Membaca setiap detil kata dari sms Okran membuat gue seolah merasakan kelelahan yang dialaminya. Ada rasa sedih mencuat mengingat lelah yang melekat pada Okran di usianya yang masih 21 tahun. Ada rasa bangga mengalir padanya dimana pemuda-pemuda seumuran dia biasanya hanya bersenang-senang atau malah foya-foya menghabiskan harta orang tua mereka. Tapi tidak dengan Okran. Okran sebaliknya. Dia malah mesti memikul beban dan tanggung jawab yang besar untuk kelangsungan hidup keluarganya.

Iya ayank. Met istirahat. Met tidur. I love us more today but not as much as tomorrow. Nite. Gue membalas sms Okran.

Pukul sebelas malam. Gue merasa semakin yakin bahwa Tuhan memang Maha Baik. Gue bersyukur. Makin hari makin bersyukur. Tuhan memberi gue kesehatan. Tuhan memberi gue keluarga. Tuhan memberi gue teman-teman. Dan Tuhan pula yang memberikan gue Okran. Laki-laki yang sudah “diterima” di hati nyokap gue. Rasanya sungguh bahagia mengetahui bahwa laki-laki yang kita sayang telah berada didalam hati orang yang kita sayang pula. Dan itu adalah Okran di hati Mama. Bukankah setiap orang mengharapkan itu? Mendambakan bisa diterima dikeluarga kekasih kita? Dan gue bahagia, Okran bisa diterima di keluarga gue, khususnya di hati Mama. Semoga suatu hari gue pun bisa diterima di keluarga Okran. Entah kapan Okran akan memperkenalkan gue pada keluarganya. Tapi mulai sekarang gue bertekad, gue pun juga mesti di terima oleh keluarga Okran. Gue harus membuat kisah hubungan ini sempurna. Lebih sempurna daripada cerita – cerita dalam dongeng.



To be continued…

No comments:

Post a Comment